adobe.com S ecangkir kopi hitam masih tersaji hangat di hadapanku. Aroma khas Americano yang menyengat rongga hidungku menembus hingga ke ubun-ubun. Suara nyaring dari balik ponsel masih terngiang-ngiang di kepala. "Sial! Ditolak lagi." Aku menyeruput cairan pekat ini dengan perasaan getir. Rasa pahit dan asam kini saling beradu di rongga kerongkongan. Sudah keempat kalinya aku memperbaiki desain website yang diminta oleh client- ku. Namun beliau kembali menolak dengan alasan, "Bukan itu font yang saya inginkan, tolong diganti." Lantas aku bertanya, "Font seperti apa yang Ibu maksud?" "Kan sudah saya bilang, yang ukurannya agak besar tetapi terlihat ramping." "Maksud Ibu, font Candara?" "Saya tidak hafal nama-nama font , tapi pokoknya seperti itu. Warna background nya juga diganti menjadi warna biru langit ya. Saya minta besok sudah diperbaiki." "T-tapi bu.." *tut tut tut* "ARGH!!" Aku membanti
Aku ingin tahu bagaimana cara mereka mengenangku, atau sekedar mengingatku lewat sebuah tulisan.