Stock.adobe.com |
Berawal dari malam yang kelabu. Gumpalan awan hitam menyelimuti langit Jakarta malam itu. Hujan turun dengan derasnya sepanjang hari tanpa henti. Langit menumpahkan air mata, seolah ikut larut dalam peristiwa hari itu. Suara petir yang menggelegar, saling beradu menggetarkan muka bumi.
Aku terperanjat kaget,
meraih sebuah bantal dari ranjang single
ku, lalu menutup telingaku rapat-rapat. Bukan, bukan karena aku takut dengan
suara petir. Tapi aku hanya takut, jika suara cacian dari kedua orangtuaku
kembali terdengar di telingaku.
Aku menggigit bibir
bawahku dengan kuat. Terasa getir. Perlahan, darah mulai mengalir dari bibirku.
Bahkan rasa getir dari darahku tidak mampu mengalahkan kegetiran hidupku saat ini.
Aku meraih sweaterku, lalu menyelinap keluar rumah lewat pintu belakang, agar
tidak ada yang mengetahui kepergianku malam itu.
***
Tubuhku gemetaran. Aku kembali merapatkan sweater merahku. Rambutku basah kuyup karena terguyur hujan, bahkan
basah hingga ke sweaterku. Angin malam yang
cukup kencang menerpa tubuhku. Seketika,
udara dingin berusaha menerobos masuk
melalui celah-celah sweater dan
menusuk kulitku. Aku memeluk tubuhku lebih erat dengan kedua tanganku.
“Urus saja sendiri anakmu!”
“Laura itu anakmu juga, Pa!”
“Bukan! Dia bukan anakku! Apa engkau punya
bukti bahwa dia adalah anak kandungku?”
Kata-kata
itu kembali terngiang di kepalaku. Tiba-tiba dadaku terasa begitu sesak.
“Kau diam kan? Berarti kau tidak punya bukti!”
“Mari
kita tes DNA, Pa..”
“Apa maksudmu? Kau menyuruhku tes DNA dengan
anak harammu itu?”
Terdengar suara isak tangis mama lebih keras.
“Dia bukan anak haram Pa! Dia itu anakmu! Laura
itu anak kita..” ujar Mama lirih.
“Bukan! Sekali aku bilang bukan, tetap bukan!
Kau tidak punya cukup bukti untuk mempercayai itu kepadaku,” nada Papa kini semakin
geram.
“Bagaimana caranya agar kau percaya bahwa
Laura itu anakmu,Pa?” nada Mama terdengar memohon.
“Biarkan dia pergi dari rumah ini!”
*DUAR!!!*
Suara petir kembali
menggelegar. Hari sudah semakin larut, suasana
halte terlihat semakin sepi. Tidak ada tanda-tanda bus yang akan lewat. Aku
merasa sangat lelah hari ini. Aku memutuskan untuk tidur. Aku menundukan
kepalaku, lalu memejamkan mata.
Tak berapa lama, aku
mendengar suara langkah kaki seseorang menghampiriku. Aku mulai ketakutan. Siapa orang ini? Apa dia memiliki niat jahat
terhadapku? tanyaku dalam hati. Langkah
kaki itu semakin terdengar jelas di telingaku. Hingga akhirnya, aku merasa ada
seseorang yang duduk disampingku. Aku mengumpulkan seluruh nyawaku yang masih
tersisa. Aku harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Tapi, baru saja aku ingin
beranjak dari tempat dudukku, orang itu menepuk pundakku dari belakang. Aku
menoleh perlahan.
“Laura?”
***
Frans?
Apa benar itu dirinya? Mengapa ia tahu aku disini?
“Frans...”
“Mengapa kamu sendirian
di tempat ini? Hari sudah malam. Mari, aku antar pulang..”
“Tidak Frans, terima
kasih. Aku tidak pulang ke rumah..” cegahku seketika. “Maksudmu?” tanya Frans
tidak mengerti.
“A..aku. Aku pergi dari
rumah Frans..” ujarku pelan.
“Pergi? Kabur maksudmu?”
Aku mengangguk pelan.
Tapi, karena apa?”
“Hm, yah. Orang tuaku
bertengkar hebat, mereka tidak menginginkan keberadaanku Frans,” ujarku lirih. Tanpa
kuperintahkan, air mata kembali mengalir dengan sendirinya di wajahku.
Frans menatapku. Raut mukanya
tampak mengkhawatirkan diriku. Ia mengusap air mataku dengan lembut. “Mukamu
pucat... lebih baik kamu tinggal di rumahku untuk sementara waktu,” “T..Tapi,” Mana mungkin aku tinggal dirumah Frans? Walau
aku mengenalmu, tapi tidak mungkin aku tinggal dirumah seorang lelaki.
“Ada kamar kosong di
rumahku, aku pastikan kamu akan lebih tenang disana..”
Aku tersenyum menatapnya.
“Terima kasih, Frans..”
***
Satu tahun berlalu, sejak kejadian pilu itu
menghantui pikiranku. Begitu banyak peristiwa yang membuatku merasakan arti kehilangan. Yah, semenjak pertengkaran hebat yang terjadi antara kedua
orang tuaku, mempersoalkan indentitas diriku yang sebenarnya.Sejak saat
itu aku tidak lagi bertemu papa. Kini papa telah pulang ke kota asalnya, Surabaya.
Kini, aku memulai hidupku yang baru bersama dengan Mama. Kami menetap di Villa milik Eyang Karmi, di daerah Bogor.
Hari masih pagi. Waktu menunjukkan pukul 6.30. Aku
membuka pintu utama ruang tamu, dan berjalan keluar dari Villa. Udara pagi ini
sangat sejuk. Langit pagi ini tampak cerah, tidak seperti tiga hari belakangan
yang selalu diselimuti awan mendung ditemani hujan. Aku merasakan rongga dadaku
mengembang, terisi penuh oleh udara segar pagi ini.
Suasana disini jauh lebih nyaman dan sejuk di bandingkan Jakarta.
Bahkan, bayang-bayang masa lalu ku yang suram, perlahan lenyap seiring
berjalannya waktu. Aku berjalan setapak demi setapak mengelilingi bukit dekat
villa Eyang. Jalanan bebatuan tidak menghalangi niatku untuk melihat keindahan
kota Bogor pagi ini. Hingga akhirnya,
aku telah sampai di puncak bukit.
Dari atas bukit, aku dapat melihat keindahan kota Bogor
dengan jelas. Pemandangan Gunung Salak dari kejauhan begitu eksotik dan menarik
perhatianku. Pesona alam yang masih asri, seperti magnet yang menarik diriku untuk berada lebih lama di
tempat ini. Hamparan sawah terlihat membentang membelah cakrawala, dengan
Gunung Salak sebagai latarnya. Terlihat
bapak tani bersama kerbaunya yang besar tengah membajak sawah. Matahari pagi
telah menampakkan senyumnya ke muka bumi. Aku duduk di hamparan bukit,
menikmati keindahan bukit ini.
Seketika, aku teringat semua kenangan bersama Frans satu
tahun silam. Ia mengajakku ke sebuah
taman di daerah Bogor.
“Mau kemana kita,
Frans?” tanyaku setelah turun dari motor Frans.
“ Aku mau mengajakmu
ke suatu tempat,” balas Frans setelah memarkirkan motornya di tepi jalan. Aku
memandang ke sekelilingku. Tampak sepi. Tempat apa ini?
“Tapi kemana?”
tanyaku masih penasaran.
Frans meraih
tanganku. “Sudah ikut saja. Aku mau menunjukkan suatu tempat yang mampu
membuatmu tersenyum,”
Aku hanya menurut.
Kami bergandengan tangan menelusuri
jalan setapak yang masih terselimuti bebatuan. Di samping kanan dan kiri jalan
berjajar pepohonan lebat. Akhirnya, kami tiba di depan pintu Gerbang Taman,
bertuliskan ‘SELAMAT DATANG’. Kira-kira sekitar 2 kilometer dari tempat Frans
memarkir motornya.
Frans
mengajakku ke sebuah Taman. Taman ini sungguh indah. Tampak berbagai jenis
bunga mawar yang beraneka warna sedang bermekaran. Mulai dari mawar merah,
mawar putih, mawar pink, mawar ungu, mawar biru, mawar oranye, dan mawar
kuning. Ya, tidak terlihat mawar hitam di taman ini. Pengunjung lainnya yang
mengunjungi taman ini rata-rata adalah
sepasang kekasih, kira-kira seumuran denganku. Sepasang kekasih baru saja
melintas di depan kami sambil bergandengan tangan. Nampaknya, mereka ingin
mengambil foto di depan lahan bunga mawar merah. Hm, sepertinya mereka baru
jadian! J
“Duduk di
ayunan yuk!” Frans mengajakku duduk di salah satu ayunan beralaskan papan kayu.
Ukurannya lumayan besar, cukup untuk dinaiki dua orang. Tidak kurang dari 7
jenis bunga taman yang menghiasi tali ayunan. Begitu indah.
“Taman apa ini? Indah sekali, Frans!” ujarku
sumringah. “Taman Vanadie,” balasnya singkat sambil mengayun pelan ayunan yang
kami naiki.
Aku menaikkan alis. “Vanadie?” “Yah, Taman Vanadie. Selidik punya selidik,
nama ‘Vanadie’ berasal dari kata Vanadis, yaitu nama Dewa Cinta di Skandinavia,”
Aku terdiam karena
takjub. Frans ternyata telah mengenal lama taman ini.
“Sejak kapan kamu
mengetahui keberadaan Taman ini?”
“Sejak umurku 7
tahun,” jawab Frans. Aku hanya ber-oo ria. “Sejak kecil,mama selalu mengajakku
ke taman ini untuk sekedar menikmati udara segar di pagi hari. Tetapi, ada hal lain yang membuatku takjub,”
ujarnya sambil tersenyum ke arahku.
“Ngg..apa?”
tanyaku penasaran.
“Karena, aku yakin dengan mitos mengenai keberadaan taman
ini. Bagi mereka yang mengunjungi taman ini, ia akan menemukan jodoh
terbaiknya. Makanya, dinamakan Taman Vanadie yang artinya Taman Cinta. Dan aku berharap, hal itu terjadi di antara
kita,Ra,”
“M...maksudmu?” lidahku kelu. Aku seolah tak percaya
dengan kalimat yang dilontarkan oleh Frans.
Frans memutar tubuhnya ke belakang. Ia memetik sebuah
bunga berwarna merah muda, lalu menyelipkan bunga itu di daun telingaku. “Bunga untukmu..” ujar
Frans sambil tersenyum. “Terima kasih,” ujarku dengan pelan.
“Aku menyukaimu Laura...” Aku mengerjap beberapa kali.
Apa aku sedang bermimpi? “A..apa?” “Aku menyukaimu...” ulangnya lagi. Ia
menatapku dengan serius. Tidak ada kebohongan yang terpancar dari wajahnya.
“A..a..ak—” Mengapa tiba-tiba suaraku seperti kaset
rusak? Sulit untukku membalas ucapannya. Aku menarik nafas panjang, lalu
mengembuskannya perlahan. “Sejak kapan?”
Ia menatap kosong ke arah depan sejenak. “Sejak
pertama mengenalmu, saat awal kita masuk SMP. Aku melihat senyummu begitu
manis. Kau juga ramah dan terlihat sangat polos. Namun, saat kamu dijahili oleh Tim dan
teman-temannya, kamu begitu berani melawannya hingga mereka babak belur. Bahkan
diriku, saat itu sangat takut dengan badan besar Tim yang mungkin saja
menikamku dari belakang. Disaat itulah
aku menganggapmu orang yang pemberani dan kuat, dan aku mulai menyukaimu. Sudah
enam tahun lamanya aku menunggumu. Berharap engkau juga menyukaiku suatu saat
nanti,” tutur Frans.
Lalu ia kembali menatapku. “Dan aku merasa sangat
beruntung, ketika bertemu denganmu di halte pekan lalu. Disaat itulah, aku
percaya dengan namanya takdir, bahwa kaulah Laura, jodoh yang Tuhan titipkan untukku,”
Aku terhenyak dengan kalimat yang dilontarkan Frans. Frans ternyata mengingat seluruh kejadian itu.
Saat itu, Tim dan teman-temannya mendorongku hingga jatuh tersungkur ke aspal. Sebagai
kakak kelas, mereka masih meninggikan ‘senioritas’ dalam kamus mereka. Mereka
menganggap diri mereka paling jagoan dan seenaknya menganggapku wanita lemah
yang tidak mampu melawan mereka. Mereka
salah, karena aku malah berhasil membuat sekujur tubuh mereka babak belur
karena tendangan ‘round kick’ dariku.
Air mataku tertahan
di pelupuk mata. Ingin rasanya aku meluapkannya. Ternyata, cintaku selama ini kepada Frans terbalaskan, tidak
seperti cerita di sinetron ataupun drama, yang cintanya bertepuk sebelah
tangan.
Frans menundukkan kepala. Tampaknya menunggu jawaban
dariku.
“Aku juga Frans..”
Frans menoleh. “Y..yang benar?”
“Iya, benar. Aku juga menyukaimu sejak dulu Frans.. Aku
benar-benar merindukanmu..”ujarku lirih.
Dalam hitungan detik, aku menangis dalam dekapannya.
Frans memeluknya erat. Lalu, kembali memandangku.
“Mulai detik ini sampai kapanpun, hanya kamu yang ada di
hatiku, tidak ada yang lain. Karena cinta tahu kemana ia harus meninggalkan
jejaknya,”
Aku memandang Frans. Menunggu lanjutan kalimat
darinya.
“Dan cintaku memilih untuk meninggalkan jejaknya di hatimu,” ucapnya
lembut. Aku hanya bisa tersenyum menatapnya, lalu terdiam dalam pelukannya.
Bagiku, 1 Juni merupakan hari berharga sepanjang perjalanan cintaku.
Aku tersadar dari
lamunan singkatku bersama Frans. Kenangan itu tidak mungkin terhapus sepanjang
hidupku. Sejak kepergiannya ke Australia, aku sudah jarang berkomunikasi
dengannya. Apakah ia masih mengingatku? Aku menghela nafas. “Semoga kamu baik-baik saja sekarang,” gumamku terhadap diriku
sendiri.
Waktu menunjukkan
pukul 7.30. Aku beranjak dari tempatku, takut jika Eyang mencariku. Tapi,
tiba-tiba ponselku bergetar. Nomor asing,
siapa yang menelponku pagi-pagi? Aku pun menekan tombol hijau, “Halo...
“ “Eh—Frans?”
***
Langit Bogor terlihat
mendung. Awalnya, mama melarangku untuk
keluar rumah. Tapi aku bilang kalau Frans yang ingin bertemu denganku di Taman
Vanadie sore ini. Akhirnya dengan segala
bujuk rayuku, beliau mengizinkanku pergi. Pagi tadi, Frans menelponku untuk
mengajak ketemuan di Taman Vanadie. Ia baru tiba dari Australia tadi malam dan ingin
segera menemuiku.
“Aku
ingin bertemu denganmu Ra, di Taman Vanadie hari ini, bisa?”
“Jam
berapa? Lalu, mau ngapain?”
“Hm,
jam 4 sore. Mau melepas rindu, Hehehe..”
“Huh...
dasar gombal!”
“Sekalian
mau menunjukkan kamu sesuatu..”
“Hm..
nunjukin apa?”
“Kamu
petik satu bunga yang kamu suka disana, lalu tunggu hingga aku datang ya..”
“Tapi
untuk apa?”
“Pokoknya
nurut aja, hehehe.. c u.. I love you Laura!”
Aku mengayunkan ayunanku perlahan,
sambil memilin bunga mawar putih yang baru kupetik di taman ini. Suasana taman
sore ini terlihat sepi pengunjung. Hanya
satu – dua orang saja yang duduk di bangku taman, tampak sedang bercengkramah.
Angin mulai bertiup kencang
menerpa wajahku. Aku melirik arloji. Pukul 17.00. Sudah satu jam aku menunggu. Mengapa Frans
belum datang juga? Apa ia lupa dengan janjinya? Atau, ia lupa dimana letak
ayunan, tempat kami pertama kali bertemu?
Mana mungkin? Dia sendiri yang mengajakku ke tempat ini. Kata Frans,
hanya ada satu ayunan unik yang berada di Taman ini. Aku saja masih ingat betul letaknya ayunan
ini, tanpa harus membawa peta. Tapi mengapa Frans belum menampakkan batang
hidungnya? Aku memutuskan untuk menelpon
Frans. Ia meraih ponselnya dari saku celana, lalu dengan cekatan mencari nomor
Frans di kontak. Klik. Nomor yang anda
tuju sedang berada diluar jangkau—
Nomornya tidak aktif. Aku
berusaha menghubungi nomor lainnya. Seingatku, ia memiliki dua nomor handphone yang berbeda. Nihil, jawaban
yang sama dilontarkan operator. Malahan,
nomornya sudah tidak terpakai. Perasaan
cemas mulai mengusik hati.
Frans
dimana dirimu?
GLUDUK...GLUDUK...
Suara guntur telah terdengar
memecah kesunyian taman. Perlahan awan hitam menggumpal menyelimuti taman
ini. Pengunjung yang tadi masih terlihat
kini telah menghilang. Mungkin sebagian dari mereka memutuskan untuk kembali pulang.
Kini aku benar-benar
sendirian. Menatap kosong ke arah hamparan bunga warna-warni yang bermekaran.
Aku berniat untuk meninggalkan tempat ini, namun hatiku bertekad untuk
menunggunya hingga datang. Tanpa kusadari, kelopak bunga mawar yang kupegang
mulai berjatuhan di kakiku.
1
kelopak...“Frans pasti datang... Yah, pasti....”
2 kelopak.. “Mungkin dia terjebak macet hingga telat untuk
menemuiku..”
3 kelopak..“Mungkin dia harus
mengantarkan mamanya ke butik, baru menemuiku..”
4 kelopak.. “Mungkin dia harus
mengantarkan kue ke rumah Oma Narti, baru menemuiku..”
5 kelopak..Kelopak terakhir. “Mungkin motornya mogok di tengah jalan, hingga...”
Aku terkesiap saat melihat bunga mawar
dihadapanku telah lepas seluruhnya. Kemungkinan ini telah hilang terbawa angin.
Bahkan hingga seluruh kelopak ini jatuh, Frans belum juga datang. Tiba-tiba,
perasaanku berubah menjadi cemas bercampur gelisah. Kemana Frans sebenarnya?
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Frans
menelponku? “HALO FRANS KAMU KOK GA—
” “Halo Mbak..” Loh, kok suara bapak-bapak? “Maaf Mbak, saya Pratno. Anu, teman Mbak kecelakaan, sekarang ada di Rumah Sakit Azra..Dia—”
Lidahku
kelu. Tubuhku gemetaran mendengar suara Bapak itu. Tiba-tiba sekujur tubuhku
berubah jadi lemas hingga ponselku terjatuh ke tanah. Aku tidak mendengar suara
beliau selanjutnya. Aku segera meraih kunci motorku dari saku celana dan memacu
motorku menuju Rumah Sakit Azra. Hujan yang mengguyur deras tidak mengurungkan
niatku untuk menemui Frans. Langit
menumpahkan air mata, seolah ikut larut dalam peristiwa hari itu. Suara petir
yang menggelegar, saling beradu menggetarkan muka bumi.
Aku tiba di rumah sakit sekitar 30 menit kemudian. Tapi Tuhan
berkata lain, nyawa Frans telah dipanggil Tuhan sebelum aku sampai di rumah
sakit. Ia mengalami pendarahan hebat di otak. Frans kehilangan banyak darah,
sehingga nyawanya tidak tertolong.
Aku tiba disaat jenazah
Frans sudah dibersihkan oleh pihak rumah sakit.
Di samping ranjangnya, aku benar-benar merasa terguncang. “FRANS!!
MAAFKAN AKU...!” jeritku saat melihat tubuhnya sudah terbujur kaku di ranjang. Aku tidak mampu menahan air
mataku lagi, hingga akhirnya tumpah ruah membanjiri suasana malam itu.
Aku kembali tersadar dari tangisanku, ketika seseorang menepuk
pundakku dari belakang. “Mbak Laura?” Aku menoleh. Eh, ternyata Bapak yang
menelponku tadi. “Maaf Mbak, saya cuma
mau kasih ini..” ujarnya sambil memberikan sepucuk surat berwarna merah muda
dan kotak kecil berwarna merah. “A..apa ini,Pak?” balasku yang masih
terisak. “Wah, saya kurang tahu, Mbak.
Teman Mbak titipin surat sama kotak ini sebelum meninggal. Katanya untuk Mbak
Laura..” ujarnya ramah. Aku menerima surat dan kotak itu dari tangan Bapak
Pratno. “Terima kasih ya, Pak,” “Iya,
Mbak. Yang tabah yah, Mbak,” ujar si Bapak lalu keluar dari ruangan. Aku
kembali menatap Frans, “Frans.. aku
keluar sebentar ya,” ujarku lirih kepada Frans yang telah kembali terselimuti
kain putih.
Aku keluar dari ruangan. Kemudian duduk di salah satu bangku rumah
sakit. Aku membaca surat dari Frans perlahan.
Dear Laura,
Laura ku sayang, Happy
1st Anniversary! Tidak terasa, telah satu tahun kita merajut tali kasih. Telah
banyak kenangan yang kita lalui bersama. Tertawa bersama, menangis bersama,
marah bersama, jutek bersama, bahkan jealous bersama :p. Awalnya, aku bingung
ingin memberi kado spesial apa untukmu. Karena bagiku, dirimu sudah sangat
spesial di hidupku. (Bukan gombal loh ya, ini jujur!) Tapi,
Boy dan Kris menyarankan untuk memberikanmu sebuah kalung, agar terlihat
romantis. Kalung ini sengaja ku pesan
dengan ukiran F&L, agar diriku selalu kau ingat jikalau suatu saat nanti
aku jauh darimu.
Karena cinta tahu kemana ia harus meninggalkan
jejaknya , dan cintaku memilih untuk
meninggalkan jejaknya di hatimu. –Frans Prasetyo.
Your Prince,
Frans.
***
Aku kembali melipat surat itu. Rapuh. Hanya itu yang kurasakan saat
ini. Pandanganku menerawang kosong menatap gumpalan awan putih pagi ini. Di tempat yang sama, ketika aku mengalami
kejadian pahit pada keluargaku. Dan saat ini pula, aku kembali kehilangan sosok
pria yang berarti dalam hidupku selain Papa.
Satu tahun berlalu, sejak kejadian pilu yang merenggut
nyawa Frans. Nampaknya, tidak mampu membuatku lupa akan dirinya. Aku
benar-benar merasa bersalah, bahkan menganggap diriku adalah penyebab kematian
Frans. Kalau saja, diriku tidak menuruti keinginannya untuk pergi ke Taman
Vanadie sore itu, mungkin Frans tidak akan mengalami kecelakaan maut yang
merenggut nyawanya. Dan ia masih berada di sampingku hingga saat ini.
Aku beranjak dari tempatku, lalu segera berlari menuju villa untuk mengambil
motor.
***
Pukul 11.00. 1 Juni 2014.
Aku telah berada
di makam Frans, di daerah Bogor. Aku
menatap kosong ke arah batu nisan di depanku. Di batu tersebut bertuliskan
“Telah berpulang ke rumah Bapa, Frans Prasetyo, 1 Juni 2013.”
Aku membawa seikat bunga mawar yang beraneka warna,
sesuai dengan warna bunga yang terdapat di Taman Vanadie. Aku meletakan bunga
mawar itu di samping batu nisan Frans. Hembusan angin menerpa wajahku. Matahari
siang ini tampak menyembunyikan senyumnya di balik awan. Sehingga, terik
matahari tidak terlalu panas menyengat kulit.
Daun-daun berwarna kuning kecoklatan saling berguguran di batu nisan
Frans. Aku bersimpuh di depan makam Frans, lalu mengusap batu nisan itu
perlahan. Air mataku kembali meluncur ke tanah. Aku menangis sendirian dalam
kesunyian. Aku tidak kuat menahan perih hatiku. “Happy 2nd anniversary sayang.. Aku merindukanmu..” ucapku lirih, bahkan
sulit terdengar di telingaku.
Aku mengeluarkan liontin emas putih pemberian Frans dari balik
kerah bajuku. Aku menatap kalung yang berhiaskan liontin hati berwarna perak.
Terukir jelas tulisan F&L di sisi depan liontin. Aku mencium liontin
pemberian Frans. Dengan begini, aku merasakan keberadaan Frans di sampingku. Air mata telah
mengalir deras di pipiku. Aku
benar-benar merindukan dirinya saat ini.
“Tuhan, mungkin
aku dan Frans tidak dapat merasakan namanya happy
ending di dunia. Tapi aku berharap, kami akan tetap merasakan happy ending, jikalau kami di pertemukan
kembali di surga nanti,” doaku dalam hati. Aku menyandarkan kepalaku di atas
batu nisan Frans. Aku menutup mataku, lalu terlelap dalam semilir angin
kerinduan.
TAMAT
Comments
Post a Comment