Skip to main content

Jejak Hatiku di bulan Juni

Stock.adobe.com

Berawal dari malam yang kelabu. Gumpalan awan hitam menyelimuti langit Jakarta malam itu. Hujan turun dengan derasnya sepanjang hari tanpa henti. Langit menumpahkan air mata, seolah ikut larut dalam peristiwa hari itu. Suara petir yang menggelegar,  saling beradu menggetarkan muka bumi.

Aku terperanjat kaget, meraih sebuah bantal dari ranjang single ku, lalu menutup telingaku rapat-rapat. Bukan, bukan karena aku takut dengan suara petir. Tapi aku hanya takut, jika suara cacian dari kedua orangtuaku kembali terdengar di telingaku.

Aku menggigit bibir bawahku dengan kuat. Terasa getir. Perlahan, darah mulai mengalir dari bibirku. Bahkan rasa getir dari darahku tidak mampu mengalahkan kegetiran hidupku saat ini. Aku meraih sweaterku, lalu menyelinap keluar rumah lewat pintu belakang, agar tidak ada yang mengetahui kepergianku malam itu.

***

Tubuhku gemetaran. Aku  kembali merapatkan sweater merahku. Rambutku basah kuyup karena terguyur hujan, bahkan basah hingga ke sweaterku.  Angin malam yang cukup kencang menerpa tubuhku.  Seketika, udara dingin  berusaha menerobos masuk melalui celah-celah sweater dan menusuk kulitku. Aku memeluk tubuhku lebih erat dengan kedua tanganku.

“Urus saja sendiri anakmu!”

“Laura itu anakmu juga, Pa!”

“Bukan! Dia bukan anakku! Apa engkau punya bukti bahwa dia adalah anak kandungku?”

Kata-kata itu kembali terngiang di kepalaku. Tiba-tiba dadaku terasa begitu sesak.

“Kau diam kan? Berarti kau tidak punya bukti!”

 “Mari kita tes DNA, Pa..”

“Apa maksudmu? Kau menyuruhku tes DNA dengan anak harammu itu?”

Terdengar suara isak tangis mama lebih keras.

“Dia bukan anak haram Pa! Dia itu anakmu! Laura itu anak kita..” ujar Mama lirih.

“Bukan! Sekali aku bilang bukan, tetap bukan! Kau tidak punya cukup bukti untuk mempercayai itu kepadaku,” nada Papa kini semakin geram.

 “Bagaimana caranya agar kau percaya bahwa Laura itu anakmu,Pa?” nada Mama terdengar memohon.

“Biarkan dia pergi dari rumah ini!”

*DUAR!!!*

Suara petir kembali menggelegar. Hari sudah  semakin larut, suasana halte terlihat semakin sepi. Tidak ada tanda-tanda bus yang akan lewat. Aku merasa sangat lelah hari ini. Aku memutuskan untuk tidur. Aku menundukan kepalaku, lalu memejamkan mata.

Tak berapa lama, aku mendengar suara langkah kaki seseorang menghampiriku. Aku mulai ketakutan. Siapa orang ini? Apa dia memiliki niat jahat terhadapku?  tanyaku dalam hati. Langkah kaki itu semakin terdengar jelas di telingaku. Hingga akhirnya, aku merasa ada seseorang yang duduk disampingku. Aku mengumpulkan seluruh nyawaku yang masih tersisa. Aku harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Tapi, baru saja aku ingin beranjak dari tempat dudukku, orang itu menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh perlahan.

“Laura?”

***

Frans? Apa benar itu dirinya? Mengapa ia tahu aku disini? 

“Frans...”

“Mengapa kamu sendirian di tempat ini? Hari sudah malam. Mari, aku antar pulang..”

“Tidak Frans, terima kasih. Aku tidak pulang ke rumah..” cegahku seketika. “Maksudmu?” tanya Frans tidak mengerti.

“A..aku. Aku pergi dari rumah Frans..” ujarku pelan.

“Pergi? Kabur maksudmu?”

Aku mengangguk pelan.

Tapi, karena apa?”

“Hm, yah. Orang tuaku bertengkar hebat, mereka tidak menginginkan keberadaanku Frans,” ujarku lirih. Tanpa kuperintahkan, air mata kembali mengalir dengan sendirinya di wajahku.

Frans menatapku. Raut mukanya tampak mengkhawatirkan diriku. Ia mengusap air mataku dengan lembut. “Mukamu pucat... lebih baik kamu tinggal di rumahku  untuk sementara waktu,” “T..Tapi,”  Mana mungkin aku tinggal dirumah Frans? Walau aku mengenalmu, tapi tidak mungkin aku tinggal dirumah seorang lelaki.

“Ada kamar kosong di rumahku, aku pastikan kamu akan lebih tenang disana..”

Aku tersenyum menatapnya. “Terima kasih, Frans..”

***

 Satu tahun berlalu, sejak kejadian pilu itu menghantui pikiranku. Begitu banyak peristiwa yang membuatku merasakan arti kehilangan. Yah, semenjak pertengkaran hebat yang terjadi antara kedua orang tuaku, mempersoalkan indentitas diriku yang sebenarnya.Sejak saat itu aku tidak lagi bertemu papa. Kini papa telah pulang ke kota asalnya,  Surabaya.  Kini, aku memulai hidupku yang baru bersama dengan Mama. Kami  menetap di Villa  milik Eyang Karmi, di daerah Bogor.

Hari masih pagi. Waktu menunjukkan pukul 6.30. Aku membuka pintu utama ruang tamu, dan berjalan keluar dari Villa. Udara pagi ini sangat sejuk. Langit pagi ini tampak cerah, tidak seperti tiga hari belakangan yang selalu diselimuti awan mendung ditemani hujan. Aku merasakan rongga dadaku mengembang, terisi penuh oleh udara segar pagi ini.   

Suasana disini jauh lebih nyaman dan sejuk di bandingkan Jakarta. Bahkan, bayang-bayang masa lalu ku yang suram, perlahan lenyap seiring berjalannya waktu. Aku berjalan setapak demi setapak mengelilingi bukit dekat villa Eyang. Jalanan bebatuan tidak menghalangi niatku untuk melihat keindahan kota Bogor pagi ini.  Hingga akhirnya, aku telah sampai di puncak bukit.

Dari atas bukit, aku dapat melihat keindahan kota Bogor dengan jelas. Pemandangan Gunung Salak dari kejauhan begitu eksotik dan menarik perhatianku. Pesona alam yang masih asri,  seperti magnet yang  menarik diriku untuk berada lebih lama di tempat ini. Hamparan sawah terlihat membentang membelah cakrawala, dengan Gunung Salak sebagai latarnya.  Terlihat bapak tani bersama kerbaunya yang besar tengah membajak sawah. Matahari pagi telah menampakkan senyumnya ke muka bumi. Aku duduk di hamparan bukit, menikmati keindahan bukit ini.

Seketika, aku teringat semua kenangan bersama Frans satu tahun  silam. Ia mengajakku ke sebuah taman di daerah Bogor.

“Mau kemana kita, Frans?” tanyaku setelah turun dari motor Frans.

“ Aku mau mengajakmu ke suatu tempat,” balas Frans setelah memarkirkan motornya di tepi jalan. Aku memandang ke sekelilingku. Tampak sepi. Tempat apa ini?

“Tapi kemana?” tanyaku masih penasaran.

Frans meraih tanganku. “Sudah ikut saja. Aku mau menunjukkan suatu tempat yang mampu membuatmu tersenyum,”

Aku hanya menurut. Kami bergandengan tangan  menelusuri jalan setapak yang masih terselimuti bebatuan. Di samping kanan dan kiri jalan berjajar pepohonan lebat. Akhirnya, kami tiba di depan pintu Gerbang Taman, bertuliskan ‘SELAMAT DATANG’. Kira-kira sekitar 2 kilometer dari tempat Frans memarkir motornya.

Frans mengajakku ke sebuah Taman. Taman ini sungguh indah. Tampak berbagai jenis bunga  mawar yang beraneka warna  sedang bermekaran. Mulai dari mawar merah, mawar putih, mawar pink, mawar ungu, mawar biru, mawar oranye, dan mawar kuning. Ya, tidak terlihat mawar hitam di taman ini. Pengunjung lainnya yang mengunjungi taman ini  rata-rata adalah sepasang kekasih, kira-kira seumuran denganku. Sepasang kekasih baru saja melintas di depan kami sambil bergandengan tangan. Nampaknya, mereka ingin mengambil foto di depan lahan bunga mawar merah. Hm, sepertinya mereka baru jadian! J

 “Duduk di ayunan yuk!” Frans mengajakku duduk di salah satu ayunan beralaskan papan kayu. Ukurannya lumayan besar, cukup untuk dinaiki dua orang. Tidak kurang dari 7 jenis bunga taman  yang  menghiasi tali ayunan. Begitu indah.   

“Taman apa ini? Indah sekali, Frans!” ujarku sumringah. “Taman Vanadie,” balasnya singkat sambil mengayun pelan ayunan yang kami naiki. 

Aku menaikkan alis. “Vanadie?” “Yah, Taman Vanadie. Selidik punya selidik, nama ‘Vanadie’ berasal dari kata Vanadis, yaitu nama Dewa Cinta di Skandinavia,” 

Aku terdiam karena takjub. Frans ternyata telah mengenal lama taman ini.

“Sejak kapan kamu mengetahui keberadaan Taman ini?”

“Sejak umurku 7 tahun,” jawab Frans. Aku hanya ber-oo ria. “Sejak kecil,mama selalu mengajakku ke taman ini untuk sekedar menikmati udara segar di pagi hari.  Tetapi, ada hal lain yang membuatku takjub,” ujarnya sambil tersenyum ke arahku.

 “Ngg..apa?” tanyaku penasaran.

“Karena, aku yakin dengan mitos mengenai keberadaan taman ini. Bagi mereka yang mengunjungi taman ini, ia akan menemukan jodoh terbaiknya. Makanya, dinamakan Taman Vanadie yang artinya  Taman Cinta.  Dan aku berharap, hal itu terjadi di antara kita,Ra,”

“M...maksudmu?” lidahku kelu. Aku seolah tak percaya dengan kalimat yang dilontarkan oleh Frans.

Frans memutar tubuhnya ke belakang. Ia memetik sebuah bunga berwarna merah muda, lalu menyelipkan bunga itu  di daun telingaku. “Bunga untukmu..” ujar Frans sambil tersenyum. “Terima kasih,” ujarku dengan pelan.

“Aku menyukaimu Laura...” Aku mengerjap beberapa kali. Apa aku sedang bermimpi? “A..apa?” “Aku menyukaimu...” ulangnya lagi. Ia menatapku dengan serius. Tidak ada kebohongan yang terpancar dari wajahnya.

“A..a..ak—” Mengapa tiba-tiba suaraku seperti kaset rusak? Sulit untukku membalas ucapannya. Aku menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Sejak kapan?”

Ia menatap kosong ke arah depan sejenak. “Sejak pertama mengenalmu, saat awal kita masuk SMP. Aku melihat senyummu begitu manis. Kau juga ramah dan terlihat sangat polos.  Namun, saat kamu dijahili oleh Tim dan teman-temannya, kamu begitu berani melawannya hingga mereka babak belur. Bahkan diriku, saat itu sangat takut dengan badan besar Tim yang mungkin saja menikamku dari belakang.  Disaat itulah aku menganggapmu orang yang pemberani dan kuat, dan aku mulai menyukaimu. Sudah enam tahun lamanya aku menunggumu. Berharap engkau juga menyukaiku suatu saat nanti,” tutur Frans.

Lalu ia kembali menatapku. “Dan aku merasa sangat beruntung, ketika bertemu denganmu di halte pekan lalu. Disaat itulah, aku percaya dengan namanya takdir, bahwa kaulah Laura,  jodoh yang Tuhan titipkan untukku,”

Aku terhenyak dengan kalimat yang dilontarkan  Frans.  Frans ternyata mengingat seluruh kejadian itu. Saat itu, Tim dan teman-temannya mendorongku hingga jatuh tersungkur ke aspal. Sebagai kakak kelas, mereka masih meninggikan ‘senioritas’ dalam kamus mereka. Mereka menganggap diri mereka paling jagoan dan seenaknya menganggapku wanita lemah yang tidak mampu melawan mereka.  Mereka salah, karena aku malah berhasil membuat sekujur tubuh mereka babak belur karena tendangan ‘round kick’ dariku.

Air mataku  tertahan di pelupuk mata. Ingin rasanya aku meluapkannya.  Ternyata, cintaku  selama ini kepada Frans terbalaskan, tidak seperti cerita di sinetron ataupun drama, yang cintanya bertepuk sebelah tangan.

Frans menundukkan kepala. Tampaknya menunggu jawaban dariku.

“Aku juga Frans..”  

Frans menoleh. “Y..yang benar?”

“Iya, benar. Aku juga menyukaimu sejak dulu Frans.. Aku benar-benar merindukanmu..”ujarku lirih.

Dalam hitungan detik, aku menangis dalam dekapannya. Frans memeluknya erat. Lalu, kembali memandangku.

“Mulai detik ini sampai kapanpun, hanya kamu yang ada di hatiku, tidak ada yang lain. Karena cinta tahu kemana ia harus meninggalkan jejaknya,”

Aku memandang Frans. Menunggu lanjutan kalimat darinya.

“Dan cintaku memilih  untuk meninggalkan jejaknya di hatimu,” ucapnya lembut. Aku hanya bisa tersenyum menatapnya, lalu terdiam dalam pelukannya. Bagiku, 1 Juni merupakan hari berharga sepanjang perjalanan cintaku.

Aku tersadar dari lamunan singkatku bersama Frans. Kenangan itu tidak mungkin terhapus sepanjang hidupku. Sejak kepergiannya ke Australia, aku sudah jarang berkomunikasi dengannya. Apakah ia masih mengingatku? Aku menghela nafas. “Semoga kamu baik-baik saja sekarang,” gumamku terhadap diriku sendiri.

Waktu menunjukkan pukul 7.30. Aku beranjak dari tempatku, takut jika Eyang mencariku. Tapi, tiba-tiba ponselku bergetar. Nomor asing, siapa yang menelponku pagi-pagi? Aku pun menekan tombol hijau, “Halo... “  “Eh—Frans?”

***

Langit Bogor terlihat mendung. Awalnya,  mama melarangku untuk keluar rumah. Tapi aku bilang kalau Frans yang ingin bertemu denganku di Taman Vanadie sore ini.  Akhirnya dengan segala bujuk rayuku, beliau mengizinkanku pergi. Pagi tadi, Frans menelponku untuk mengajak ketemuan di Taman Vanadie. Ia baru tiba dari Australia tadi malam dan ingin segera menemuiku.

“Aku ingin bertemu denganmu Ra, di Taman Vanadie hari ini, bisa?”

“Jam berapa? Lalu, mau ngapain?”

“Hm, jam 4 sore. Mau melepas rindu, Hehehe..”

“Huh... dasar gombal!”

“Sekalian mau menunjukkan kamu sesuatu..”

“Hm.. nunjukin apa?”

“Kamu petik satu bunga yang kamu suka disana, lalu tunggu hingga aku datang ya..”

“Tapi untuk apa?”

“Pokoknya nurut aja, hehehe.. c u.. I love you Laura!”

Aku mengayunkan ayunanku perlahan, sambil memilin bunga mawar putih yang baru kupetik di taman ini. Suasana taman sore ini terlihat sepi pengunjung.  Hanya satu – dua orang saja yang duduk di bangku taman, tampak sedang bercengkramah.

Angin mulai bertiup kencang menerpa wajahku. Aku melirik arloji. Pukul  17.00.   Sudah satu jam aku menunggu. Mengapa Frans belum datang juga? Apa ia lupa dengan janjinya? Atau, ia lupa dimana letak ayunan, tempat kami pertama kali bertemu?  Mana mungkin? Dia sendiri yang mengajakku ke tempat ini. Kata Frans, hanya ada satu ayunan unik yang berada di Taman ini.  Aku saja masih ingat betul letaknya ayunan ini, tanpa harus membawa peta. Tapi mengapa Frans belum menampakkan batang hidungnya?  Aku memutuskan untuk menelpon Frans. Ia meraih ponselnya dari saku celana, lalu dengan cekatan mencari nomor Frans di kontak. Klik. Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkau—

Nomornya tidak aktif. Aku berusaha menghubungi nomor lainnya. Seingatku, ia memiliki dua nomor handphone yang berbeda. Nihil, jawaban yang sama dilontarkan operator.  Malahan, nomornya sudah tidak terpakai.  Perasaan cemas mulai mengusik hati.

Frans dimana dirimu?

GLUDUK...GLUDUK...

Suara guntur telah terdengar memecah kesunyian taman. Perlahan awan hitam menggumpal menyelimuti taman ini.  Pengunjung yang tadi masih terlihat kini telah menghilang. Mungkin sebagian dari mereka memutuskan untuk kembali pulang.

Kini aku benar-benar sendirian. Menatap kosong ke arah hamparan bunga warna-warni yang bermekaran. Aku berniat untuk meninggalkan tempat ini, namun hatiku bertekad untuk menunggunya hingga datang. Tanpa kusadari, kelopak bunga mawar yang kupegang mulai berjatuhan di kakiku.

       1 kelopak...“Frans pasti datang... Yah, pasti....” 

    2 kelopak.. “Mungkin dia terjebak macet hingga telat untuk menemuiku..”

     3 kelopak..“Mungkin dia harus mengantarkan mamanya ke butik, baru  menemuiku..”

   4 kelopak.. “Mungkin dia harus mengantarkan kue ke rumah Oma Narti, baru menemuiku..”

  5 kelopak..Kelopak terakhir.  “Mungkin motornya mogok di tengah jalan, hingga...”

Aku terkesiap saat melihat bunga mawar dihadapanku telah lepas seluruhnya. Kemungkinan ini telah hilang terbawa angin. Bahkan hingga seluruh kelopak ini jatuh, Frans belum juga datang. Tiba-tiba, perasaanku berubah menjadi cemas bercampur gelisah. Kemana Frans sebenarnya?

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Frans menelponku? “HALO FRANS KAMU KOK GA—

   “Halo Mbak..” Loh, kok suara  bapak-bapak?  “Maaf Mbak, saya Pratno. Anu, teman Mbak kecelakaan, sekarang ada di Rumah Sakit Azra..Dia—”

     Lidahku kelu. Tubuhku gemetaran mendengar suara Bapak itu. Tiba-tiba sekujur tubuhku berubah jadi lemas hingga ponselku terjatuh ke tanah. Aku tidak mendengar suara beliau selanjutnya. Aku segera meraih kunci motorku dari saku celana dan memacu motorku menuju Rumah Sakit Azra. Hujan yang mengguyur deras tidak mengurungkan niatku untuk menemui Frans.  Langit menumpahkan air mata, seolah ikut larut dalam peristiwa hari itu. Suara petir yang menggelegar, saling beradu menggetarkan muka bumi.

Aku tiba di rumah sakit sekitar 30 menit kemudian. Tapi Tuhan berkata lain, nyawa Frans telah dipanggil Tuhan sebelum aku sampai di rumah sakit. Ia mengalami pendarahan hebat di otak. Frans kehilangan banyak darah, sehingga nyawanya tidak tertolong.

 Aku tiba disaat jenazah Frans sudah dibersihkan oleh pihak rumah sakit.  Di samping ranjangnya, aku benar-benar merasa terguncang. “FRANS!! MAAFKAN AKU...!” jeritku saat melihat tubuhnya sudah terbujur  kaku di ranjang. Aku tidak mampu menahan air mataku lagi, hingga akhirnya tumpah ruah membanjiri suasana malam itu.

Aku kembali tersadar dari tangisanku, ketika seseorang menepuk pundakku dari belakang. “Mbak Laura?” Aku menoleh. Eh, ternyata Bapak yang menelponku tadi.   “Maaf Mbak, saya cuma mau kasih ini..” ujarnya sambil memberikan sepucuk surat berwarna merah muda dan kotak kecil berwarna merah. “A..apa ini,Pak?” balasku yang masih terisak.  “Wah, saya kurang tahu, Mbak. Teman Mbak titipin surat sama kotak ini sebelum meninggal. Katanya untuk Mbak Laura..” ujarnya ramah. Aku menerima surat dan kotak itu dari tangan Bapak Pratno. “Terima kasih ya, Pak,”  “Iya, Mbak. Yang tabah yah, Mbak,” ujar si Bapak lalu keluar dari ruangan. Aku kembali menatap Frans,  “Frans.. aku keluar sebentar ya,” ujarku lirih kepada Frans yang telah kembali terselimuti kain putih. 

Aku keluar dari ruangan. Kemudian duduk di salah satu bangku rumah sakit. Aku membaca surat dari Frans perlahan.

Dear Laura,

Laura ku sayang, Happy 1st Anniversary! Tidak terasa, telah satu tahun kita merajut tali kasih. Telah banyak kenangan yang kita lalui bersama. Tertawa bersama, menangis bersama, marah bersama, jutek bersama, bahkan jealous bersama :p. Awalnya, aku bingung ingin memberi kado spesial apa untukmu. Karena bagiku, dirimu sudah sangat spesial di hidupku. (Bukan gombal loh ya, ini jujur!)  Tapi,  Boy dan Kris menyarankan untuk memberikanmu sebuah kalung, agar terlihat romantis.  Kalung ini sengaja ku pesan dengan ukiran F&L, agar diriku selalu kau ingat jikalau suatu saat nanti aku jauh darimu.

Karena cinta tahu kemana ia harus meninggalkan jejaknya , dan cintaku memilih  untuk meninggalkan jejaknya di hatimu. –Frans Prasetyo.

Your Prince,

Frans.

***

Aku kembali melipat surat itu. Rapuh. Hanya itu yang kurasakan saat ini. Pandanganku menerawang kosong menatap gumpalan awan putih pagi ini.  Di tempat yang sama, ketika aku mengalami kejadian pahit pada keluargaku. Dan saat ini pula, aku kembali kehilangan sosok pria yang berarti dalam hidupku selain Papa.

 Satu tahun  berlalu, sejak kejadian pilu yang merenggut nyawa Frans. Nampaknya, tidak mampu membuatku lupa akan dirinya. Aku benar-benar merasa bersalah, bahkan menganggap diriku adalah penyebab kematian Frans. Kalau saja, diriku tidak menuruti keinginannya untuk pergi ke Taman Vanadie sore itu, mungkin Frans tidak akan mengalami kecelakaan maut yang merenggut nyawanya.  Dan  ia masih berada di sampingku hingga saat ini. Aku beranjak dari tempatku, lalu segera berlari menuju villa untuk mengambil motor.

***

Pukul 11.00. 1 Juni 2014.

 Aku telah berada di makam Frans, di daerah Bogor.  Aku menatap kosong ke arah batu nisan di depanku. Di batu tersebut bertuliskan “Telah berpulang ke rumah Bapa, Frans Prasetyo, 1 Juni 2013.”

Aku membawa seikat bunga mawar yang beraneka warna, sesuai dengan warna bunga yang terdapat di Taman Vanadie. Aku meletakan bunga mawar itu di samping batu nisan Frans. Hembusan angin menerpa wajahku. Matahari siang ini tampak menyembunyikan senyumnya di balik awan. Sehingga, terik matahari tidak terlalu panas menyengat kulit.  Daun-daun berwarna kuning kecoklatan saling berguguran di batu nisan Frans. Aku bersimpuh di depan makam Frans, lalu mengusap batu nisan itu perlahan. Air mataku kembali meluncur ke tanah. Aku menangis sendirian dalam kesunyian. Aku tidak kuat menahan perih hatiku. “Happy 2nd anniversary sayang.. Aku  merindukanmu..” ucapku lirih, bahkan sulit  terdengar di telingaku.

Aku mengeluarkan liontin emas putih pemberian Frans dari balik kerah bajuku. Aku menatap kalung yang berhiaskan liontin hati berwarna perak. Terukir jelas tulisan F&L di sisi depan liontin. Aku mencium liontin pemberian Frans. Dengan begini, aku merasakan keberadaan Frans di sampingku. Air mata  telah mengalir deras di pipiku.  Aku benar-benar merindukan dirinya saat ini.

 “Tuhan, mungkin aku dan Frans tidak dapat merasakan namanya happy ending di dunia. Tapi aku berharap, kami akan tetap merasakan happy ending, jikalau kami di pertemukan kembali di surga nanti,” doaku dalam hati. Aku menyandarkan kepalaku di atas batu nisan Frans. Aku menutup mataku, lalu terlelap dalam semilir angin kerinduan.

 

TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Aku tak membenci Hujan.

Hujan mengingatkanku akan sebuah kenangan. Karena saat hujan turun,  ia senantiasa memberikan kenangan baru dalam memoriku. Kenangan antara aku dan seseorang yang kucintai. Terkadang hujan datang tak kenal waktu, Namun ia mengerti dan paham kapan waktunya mereda. Bahkan, Seringkali hujan sengaja menjebak kita di tempat yang sama. dan dengan pertanyaan yang sama, "Kapan hujan ini reda?" Dan aku selalu menikmati kehadirannya. Bagiku, hujan memiliki kekuatan tersendiri, untuk menghadirkan kebahagiaan di setiap insan manusia. Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Sebab selalu ada senyuman yang kulihat setelah hujan reda. Senyumanmu,  gelak tawamu,  bahkan candaan yang senantiasa menghibur hati. Kau tahu mengapa aku tak menbenci hujan? Sebab selalu ada genggaman hangat di jemariku dan seolah ikut berkata,"Tenanglah, Aku ada disini." Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Karena hujan pandai menyamarkan kesedihan di wajahku. Ia tak pernah t

Lukisan Hujan - Sitta Karina

Resensi Novel   Judul Novel                  :  Lukisan Hujan   Pengarang                  :  Sitta Karina   Penerbit                      :   Terrant Books Tahun                         : 2004   Genre                        :   Novel Remaja(Romance) Tebal buku                  :   386 halaman  ISBN                        :  979-3750-00-6 ·          Sinopsis Novel      Novel “Lukisan Hujan” mengangkat cerita tentang kehidupan Diaz Hanafiah – cowok keturunan Hanafiah Group yang kaya raya dan terkenal, bagian dari  sosialita Jakarta. Orang tuanya merupakan pemilik “Hanafiah Group”, namun Diaz merupakan cowok yang bersikap dingin dan cuek. Karena kesederhanaan yang ditunjukan, dia sering diolok-olok karena tidak se- elite dan se- glamour sepupu-sepupunya.     Dimulai dari kedatangan tetangga baru seorang cewek bernama Sisy yang menggemparkan teman-temannya di komplek Bintaro Lakeside. Diaz yang awalnya penasaran akhirnya malah berkenalan di suatu

De Buron - Maria Jaclyn

PROLOG "Kalau kamu menyayangi seseorang, kamu enggak harus bersama dia untuk menjadi bahagia.Walaupun kalian berpisah,kamu pasti akan bahagia kalau melihatnya bahagia. Kurasa caramu menjadi bahagia salah, karena kulihat sekarang kamu cuma menyakiti dirimu sendiri," kata Ditya lagi.  Judul: De Buron Penulis: Maria Jaclyn Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2005 Jumlah Halaman: 248 Halaman Kategori: Novel ISBN: 979-22-1396-1 Ukuran: 20 cm x 13,5 cm Harga: Rp 26.500,00     Pernah nggak sih kalian ngerasain betapa takutnya didatangi oleh  "Buronan" ? Cemas, Takut, Khawatir pasti menghinggapi perasaan kalian. Perasaan yang serupa timbul pada diri Kimly, cewe baik dan supel, ketika sosok pria bernama Raditya datang ke kehidupannya, hingga akhirnya Ia menyadari akan suatu hal pada sosok Ditya. Novel “De Buron” merupakan salah satu novel romance berbakat karangan Maria Jaclyn,penulis novel berbakat tahun 2005. Novel ini mengangkat