Skip to main content

Sepatu Kulit Usang.

pixabay/lum3n
Pagi menyapa. Matahari merangkang naik. Cahayanya menerobos masuk melalui sela-sela kardus rumahnya. Di bawah terpal biru yang terlihat berongga di beberapa bagian, disinilah anak laki-laki itu tinggal. Bocah itu tengah bersiap-siap untuk memulai aktivitas paginya. Ia meraih kotak kayu berwarna hitam dari atas meja kecil, lalu segera keluar dari rumahnya.

       “Ikbal!” seseorang memanggilnya dari arah belakang. Bocah itu menoleh.
       “Mau kemana kau?”
       “Mau ke halte, Bang!” balas Ikbal, sambil menunjukkan kotak hitam di tangannya.
       Pemuda itu hanya mengangguk. “Ya sudah, Hati-hati kau di jalan. Jangan sampai kau bertemu dengan para petugas berseragam hijau. Ngerti kau?” ujar pemuda itu mengingatkan.
       “Siap, Bos!” serunya, melambaikan tangan ke arah pemuda yang dipanggilnya abang. Bocah itu pun berlalu meninggalkan rumahnya.
***
       Lengkingan suara lokomotif terdengar nyaring di telinga pengendara. Suara itu merupakan tanda bahwa kereta akan melintas. “Prit! Prit!” suara peluit petugas di bunyikan, mengarahkan rombongan pejalan kaki untuk menjauhi rel. Mereka berlarian melintasi rel untuk menepi ke stasiun. Tiang lampu yang tinggi menjulang menyala kuning, disusul portal yang perlahan tertutup.  Kendaraan saling merapat. Menunggu gerbong-gerbong yang terlihat berkarat itu melintas. Rangkaian gerbong pun berlalu, portal kembali dibuka.
     Kira-kira 100 meter dari suara itu berasal, lokasi dimana anak laki-laki , kira-kira berusia 8 tahun itu tinggal. Menetap di sebuah rumah sederhana, hanya terbuat dari kardus-kadus usang beratap terpal. Jika hujan turun, ia harus berteduh di stasiun, bahkan menetap disana untuk sementara waktu.
       Bocah itu berjalan melewati rel, bersamaan dengan kendaraan lain. Dirinya harus rela menyeret kaki mungilnya, bersentuhan langsung dengan aspal yang terasa panas ketika hari menjelang siang.  Ia harus juga merelakan telapak kakinya yang halus menjadi kasar dan penuh luka,  akibat tajamnya kerikil atau paku yang ia temukan sepanjang jalan.
       Baginya, tajamnya kerikil tidak seberapa, dibandingkan harus merasakan ketajaman hidupIbu Kota, yang kian hari kian menyakiti relung tubuhnya yang ringkih, demi memperoleh sesuap nasi.
***
       Suara klakson kendaraan terdengar berirama mengisi aktivitas pagi ini. Bocah itu melintasi aspal berwarna hitam-putih bersamaan dengan pejalan kaki lainnya. Tiang lampu bergambar ‘pejalan kaki’ menyala hijau. Bocah itu berlarian diikuti suara benda dari balik kotak kayu yang dibawanya. Ia berjalan menuju segerombol orang yang tengah duduk di bawah naungan atap halte.
       Pagi ini, halte terlihat ramai. Orang-orang lalu lalang dari arah tangga penyebrangan. Seorang wanita berhijab dengan seragam dinasnya, duduk di bangku pertama halte, sambil berkutik dengan gadgetnya. Seorang ibu bersama anak perempuannya, duduk di bangku kedua dan ketiga halte. Segerombolan bapak berusia 40-an yang mengenakan kemeja berdasi, lengkap dengan jasnya, baru saja keluar dari kendaraan beroda empat yang terlihat mewah. Mereka berjalan beriringan menuju bangunan yang berdiri megah di balik halte. Gedung-gedung pencakar langit tampak menjulang, bak benteng yang melingkupi kota-kota besar seperti Jakarta ini.  Anak-anak remaja berseragam putih abu-abu bercengkramah di samping halte.
       “Semir...semir..”  nadanya terdengar datar. Bocah ini menawarkan jasa semirnya ke setiap orang yang berada di halte. Dari segelintir orang yang berada di halte, tidak seorang pun yang bersikap acuh dengan bocah malang ini. Tubuhnya amat kurus, bahkan seperti tengkorak berjalan. Mereka hanya melihat sepintas lalu, atau hanya melambaikan tangan tanda menolak.
       Bapak berusia hampir setengah abad, yang tengah duduk di bangku kelima, tercenung memandangi anak itu. Pakaiannya sederhana—kaus katun berwarna hitam dan celana bahan berwarna coklat, yang sebagian warnanya telah memudar. Ia memanggil anak itu dari kejauhan, “Semir!”
       Bocah itu melintas di depan bapak paruh baya itu. “Pak.. semir pak?”
       Bapak itu mengangguk. “Iya, Nak. Tolong semirkan sepatu bapak ya,” Bapak itu melepas sepatunya, memberikan kepada anak itu. Dengan tekun, anak itu menyemir sepatu hitam yang kusam milik bapak itu. Anak itu duduk di pelataran halte sambil menekuk kedua kakinya ke arah depan bapak itu.
       “Siapa namamu?”
       “Ikbal.”
“Berapa umurmu, Nak?”
       “Delapan.”
       Bapak itu menatap bocah itu iba. Guratan-guratan keriput terlihat jelas di wajahnya. Rambut putihnya tersebar diantara rambut hitamnya. Lingkaran hitam terlihat jelas di bawah mata sayunya. Tergambar wajah lelah di balik senyumnya. Senyum kekaguman terhadap bocah malang yang menyemir sepatunya. Tiba-tiba, dahinya berkerut. Seperti melihat sesuatu yang janggal dari bocah ini.
       “Mengapa kamu tidak menggunakan alas kaki?” Anak itu menoleh ke arah bapak tua, lalu kembali menyemir. “Tidak punya uang, Pak.”
       “Memang,berapa uang hasil semiranmu?”
       “Tidak seberapa. Hanya cukup untuk membeli gorengan di warung. Kalau mendapat lebih pun, hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi,” tuturnya sambil menyemir sepatu kedua.
       “Apakah kamu masih bersekolah?” tanya bapak itu lagi.
Bocah itu menggeleng. “Hanya sempat belajar di pinggir rel bersama teman yang lain Pak,”
       “Pinggir rel? Kamu tinggal disana sendirian?” Anak itu mengangguk.
       Miris. Jika tahu, di kota metropolitan yang selalu dibalut dengan kemewahan, yang dijanjikan membawa ‘kesejahteraan’  dan mengedepankan ‘pendidikan’ bagi para penerus bangsa, nyatanya berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami mereka saat ini. Sudah semestinya, anak seperti Ikbal mendapat kehidupan yang layak, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Dirinya yang sepatutnya memperoleh penghargaan. Ia mampu mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, bukan seperti tikus-tikus kelaparan yang menimbun hartanya dengan menggerogoti ‘jatah’ rakyat, demi memuaskan hasratnya dalam berkehidupan.  
       “Sudah selesai,Pak!”
       Bocah itu menyerahkan sepatu hitam yang kembali terlihat mengkilap.
       “Terima kasih, Nak. Tapi, bapak tidak punya uang untuk membayar ongkos semir,”
Anak itu mendesah pelan. Raut wajahnya berubah kecewa.
       “Bolehkah saya menggantinya dengan benda lain?” Bapak itu mengeluarkan sesuatu dari ransel berwarna hijau tentara. 
       “Ini..”   Bapak itu menyerahkan sepasang sepatu kulit berwarna coklat gelap, kombinasi tali berwarna hitam. “Walau terlihat usang, namun sepatu ini memiliki sejarah baik untuk bapak.”
Kedua matanya membelalak menerima pemberian bapak itu. Wajahnya berubah menjadi sumringah, seolah menerima harta karun yang bernilai mahal.
       “Sepatu ini memang kebesaran untuk ukuran kakimu. Kamu bisa menjualnya, untuk membeli sandal baru untukmu,”
       “Semoga kelak dirimu menjadi orang yang berhasil,” gumamnya pelan.
       “Terima Kas—“ Anak itu memandang sekelilingnya. “Kemana bapak itu?” tanyanya dengan wajah bingung. Belum sempat dirinya mengucapkan terima kasih, bapak itu telah menghilang di keramaian kota.
***
       Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Begitu banyak peristiwa yang telah dialami bocah malang ini. Kini, Ikbal yang kecil telah berevolusi menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Wajahnya yang dulu kusam, kini berubah menjadi putih bersih. Pakaiannya yang dulu lusuh, kini berganti menjadi kemeja berdasi dan jas hitam. Tubuhnya yang dulu kurus kering, kini terlihat lebih sehat dan bugar. Ia berjalan dengan pasti melewati halte yang dulu pernah menjadi tempatnya untuk mencari nafkah. Kotak hitam yang dulu selalu di bawanya kemana-mana, kini berganti menjadi tas kerja yang selalu menemaninya. Dan kini ia pun telah memakai sepatu. Ya, sepatu kulit pemberian seorang Bapak yang ia temui saat di halte beberapa tahun lalu.
***
       Langit sore tampak kemerahan. Seorang pemuda berjalan dari arah gedung menuju halte. Pemuda itu sempat tercenung memandangi sosok kakek tua yang duduk sendirian di bangku halte. Tubuhnya membungkuk. Kulitnya keriput, rambutnya putih keseluruhan, dan pandangannya kosong ke arah jalan, yang sore itu ramai-lancar di jam pulang kantor. Kakek itu menghentak-hentakan pelan tongkatnya di atas tanah. Karena dilanda rasa penasaran, pemuda itu menghampiri si kakek.
       “Sedang apa, kek disini?” Kakek itu mendongakkan kepala menatap si pemuda.
       “Sedang menunggu angkutan, Nak.” balas si kakek dengan nada hangat.
       “Memang, dimana rumah kakek?” Kakek itu sempat terdiam.
        “Disana..” telunjuknya mengarah perempatan jalan. Beliau memandangi penampilan pemuda dihadapannya. Dahinya berkerut. “Hei anak muda, mengapa sepatu yang anda kenakan sangat kontras dengan penampilanmu saat ini?”
       Pemuda itu memandangi sepatunya. “Sepatu ini memiliki kenangan yang luar biasa untuk hidup saya, Kek. Bahkan, hingga saya sukses seperti ini. Ada seorang bapak yang memberikan saya sepatu kulit, sewaktu saya masih menjadi seorang penyemir sepatu. Namun, dirinya menghilang sebelum saya mengucapkan terima kasih kepada beliau,”
       “Begitu beruntung dirimu,Nak..”
       “Sangat beruntung,Kek..”
       “Mengapa?”
       Pemuda itu menghela nafas. “Sejak bapak itu memberikan sepatu ini, saya berusaha untuk mencari tahu apa maksud pemberian beliau. Hingga suatu hari, saya melewati sebuah emperan toko yang menjual sepatu buatan luar negeri. Berkat sepatu pemberian bapak itu, saya menjadi tertarik untuk menggeluti bisnis sepatu. Selama 20 tahun saya mencari tahu, selama 20 tahun pula, saya belajar dan bekerja keras.  Dan inilah jawabannya..” tuturnya dengan nada bahagia.
       Kakek itu mengulas senyumnya kepada si pemuda. Senyuman tulus yang memancarkan raut kebahagiaan.
       “Kamu memang pantas mendapatkannnya, Ikbal..” ucap kakek itu dengan nada pelan.
       Mungkin pemuda itu tidak mendengar, bahkan tidak menyadari siapa kakek itu sebenarnya. Ya, kakek itu adalah bapak tua yang memberikan sepatu kulit untuknya, si bocah penyemir sepatu. Siapa sangka, seorang bocah penyemir sepatu dapat berubah profesi menjadi seorang Direktur Perusahaan Asing yang mengelola bisnis sepatu. Tentu saja, semua ini berkat kerja keras dan keingintahuannya Ikbal untuk menyiapkan masa depan yang baik untuk dirinya kelak.
       “Mari, saya antar pulang Kek,”

TAMAT

Comments

Popular posts from this blog

Aku tak membenci Hujan.

Hujan mengingatkanku akan sebuah kenangan. Karena saat hujan turun,  ia senantiasa memberikan kenangan baru dalam memoriku. Kenangan antara aku dan seseorang yang kucintai. Terkadang hujan datang tak kenal waktu, Namun ia mengerti dan paham kapan waktunya mereda. Bahkan, Seringkali hujan sengaja menjebak kita di tempat yang sama. dan dengan pertanyaan yang sama, "Kapan hujan ini reda?" Dan aku selalu menikmati kehadirannya. Bagiku, hujan memiliki kekuatan tersendiri, untuk menghadirkan kebahagiaan di setiap insan manusia. Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Sebab selalu ada senyuman yang kulihat setelah hujan reda. Senyumanmu,  gelak tawamu,  bahkan candaan yang senantiasa menghibur hati. Kau tahu mengapa aku tak menbenci hujan? Sebab selalu ada genggaman hangat di jemariku dan seolah ikut berkata,"Tenanglah, Aku ada disini." Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Karena hujan pandai menyamarkan kesedihan di wajahku. Ia tak pernah t

Lukisan Hujan - Sitta Karina

Resensi Novel   Judul Novel                  :  Lukisan Hujan   Pengarang                  :  Sitta Karina   Penerbit                      :   Terrant Books Tahun                         : 2004   Genre                        :   Novel Remaja(Romance) Tebal buku                  :   386 halaman  ISBN                        :  979-3750-00-6 ·          Sinopsis Novel      Novel “Lukisan Hujan” mengangkat cerita tentang kehidupan Diaz Hanafiah – cowok keturunan Hanafiah Group yang kaya raya dan terkenal, bagian dari  sosialita Jakarta. Orang tuanya merupakan pemilik “Hanafiah Group”, namun Diaz merupakan cowok yang bersikap dingin dan cuek. Karena kesederhanaan yang ditunjukan, dia sering diolok-olok karena tidak se- elite dan se- glamour sepupu-sepupunya.     Dimulai dari kedatangan tetangga baru seorang cewek bernama Sisy yang menggemparkan teman-temannya di komplek Bintaro Lakeside. Diaz yang awalnya penasaran akhirnya malah berkenalan di suatu

De Buron - Maria Jaclyn

PROLOG "Kalau kamu menyayangi seseorang, kamu enggak harus bersama dia untuk menjadi bahagia.Walaupun kalian berpisah,kamu pasti akan bahagia kalau melihatnya bahagia. Kurasa caramu menjadi bahagia salah, karena kulihat sekarang kamu cuma menyakiti dirimu sendiri," kata Ditya lagi.  Judul: De Buron Penulis: Maria Jaclyn Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2005 Jumlah Halaman: 248 Halaman Kategori: Novel ISBN: 979-22-1396-1 Ukuran: 20 cm x 13,5 cm Harga: Rp 26.500,00     Pernah nggak sih kalian ngerasain betapa takutnya didatangi oleh  "Buronan" ? Cemas, Takut, Khawatir pasti menghinggapi perasaan kalian. Perasaan yang serupa timbul pada diri Kimly, cewe baik dan supel, ketika sosok pria bernama Raditya datang ke kehidupannya, hingga akhirnya Ia menyadari akan suatu hal pada sosok Ditya. Novel “De Buron” merupakan salah satu novel romance berbakat karangan Maria Jaclyn,penulis novel berbakat tahun 2005. Novel ini mengangkat