Secangkir kopi hitam masih tersaji hangat di hadapanku. Aroma khas Americano yang menyengat rongga hidungku menembus hingga ke ubun-ubun. Suara nyaring dari balik ponsel masih terngiang-ngiang di kepala.
"Sial! Ditolak lagi."
Aku menyeruput cairan pekat ini dengan perasaan getir. Rasa pahit dan asam kini saling beradu di rongga kerongkongan. Sudah keempat kalinya aku memperbaiki desain website yang diminta oleh client-ku.
Namun beliau kembali menolak dengan alasan, "Bukan itu font yang saya inginkan, tolong diganti."
Lantas aku bertanya, "Font seperti apa yang Ibu maksud?"
"Kan sudah saya bilang, yang ukurannya agak besar tetapi terlihat ramping."
"Maksud Ibu, font Candara?"
"Saya tidak hafal nama-nama font, tapi pokoknya seperti itu. Warna background nya juga diganti menjadi warna biru langit ya. Saya minta besok sudah diperbaiki."
"T-tapi bu.."
*tut tut tut*
"ARGH!!"
Aku membanting ponselku ke sofa dengan kesal. Tanpa ku sadari, ada sepasang mata yang memperhatikanku dengan bingung, kemudian kembali berkutat dengan laptop di hadapannya.
***
Aku melirik jam tanganku. Jam empat lewat lima belas menit. Tidak terasa sudah tiga jam aku berkutat dengan laptop di hadapanku. Aku segera menutup laptop dan berkemas, kemudian bergegas menuju pintu keluar.
Akan tetapi, kesialan sepertinya sedang berpihak padaku. Hujan deras disertai petir mengguyur Ibu Kota sore ini. Sialnya, aku lupa membawa payung. Aku pun mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tidak ada seorang pun petugas security yang terlihat.
"Ah sudahlah, aku terobos saja!"
Baru saja aku ingin beranjak dari cafe, seorang anak kecil terlihat berlarian ke arahku sambil tersenyum riang.
"Kak, payungnya kak?"
"E-eh iya boleh," jawabku ragu.
Aku sebenarnya ingin menunggu hujan reda, tetapi langit sudah semakin gelap.
"Ya sudahlah, daripada tidak bisa pulang," gumamku dalam hati.
Ia menyerahkan payung merah di tangannya kepadaku.
"Ini kak payungnya," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih," balasku singkat.
Kami pun berjalan menyusuri trotoar menuju halte bus. Terlihat kendaraan roda empat dan roda dua mulai memadati jalanan ibu kota. Mereka saling bergantian membunyikan klakson di tengah kemacetan.
"Mendekatlah kesini, nanti kamu kebasahan," kataku sambil mengarahkan payung ke arahnya.
"Tidak apa-apa, kakak saja yang pakai," balasnya sambil melambaikan tangan.
Ia tampak bahagia menyambut hujan datang, sambil sesekali menengadahkan tanganya ke langit.
"Siapa namamu?"
"Anya, kak."
Sosok anak kecil di sampingku dengan tinggi badan kurang lebih seratus sentimeter dan potongan rambut pendek khas anak laki-laki ternyata adalah anak perempuan. Ia tampak kurus menggunakan kaos kuning dan celana pendek yang sudah terlihat lusuh.
"Berapa usiamu?"
"Tujuh kak."
"Kamu masih sekolah?"
"Aku sudah gak sekolah kak,"
"Lalu, mengapa kamu jadi ojek payung seperti ini? Orang tua kamu dimana?"
"Ayah aku sudah meninggal kak. Aku bantu ibu cari uang, karena mau beli obat untuk ibu yang sedang sakit di rumah."
Aku tertegun mendengarnya. Anak sekecil itu harus berkelahi dengan kerasnya Ibu Kota. Masa kecilnya terampas oleh waktu dan jalanan demi bertahan hidup. Padahal, anak seusia Anya seharusnya menikmati masa kecilnya dan bersekolah.
"Kamu tidak takut sakit terkena hujan?"
"Tidak kak. Aku senang kalau hujan turun. Aku bisa bantu ibu cari uang. Aku lebih takut kalau tidak bisa membelikan ibu obat,"
Seketika aku terdiam mendengar jawaban anak umur tujuh tahun di sampingku. Ternyata, hujan tidak membawa kesialan untuk semua orang. Bagi Anya, musim hujan menjadi momen berharga yang paling dinantikan olehnya. Ia berani menembus derasnya hujan demi sesuap nasi.
Setibanya di halte, aku mengembalikan payung kepadanya.
" Terima kasih Anya. Berapa ongkosnya?"
"Lima ribu saja kak."
"Ini untukmu."
Aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepadanya.
"Maaf kak, apa ada uang pas saja? Aku gak punya kembalian."
"Tidak usah kembali, ini untukmu. Untuk membeli obat ibumu," balasku sambil tersenyum.
"Cepat sembuh untuk ibumu ya,"
"Terima kasih ya kak. Hati-hati di jalan,"
Aku segera menaiki bus. Aku melihat Anya melambaikan tangannya ke arahku dari balik jendela. Tidak terlihat sedikitpun keluh kesah di raut wajahnya. Hanya terlihat senyum lebar dengan dua gigi bawahnya yang tanggal. Aku membalas lambaikan tangannya. Kemudian ia berlarian dengan girang sambil menikmati hujan.
Bagi Anya, hujan adalah sebuah berkah. Dan bagiku, bertemu Anya adalah sebuah berkah. Ia mengajariku arti hidup. Ia menyadariku bahwa hujan tidak sepenuhnya membawa kesialan. Melainkan membawa kebahagiaan untuk diriku dan orang lain tentunya.
TAMAT
Comments
Post a Comment