pixabay/tourque |
”Mengaku saja! Dasar perempuan
pengecut! Kau masih muda, tapi sudah mencuri, kelewatan!" teriakan itu
membuat wajah wanita berkacamata dihadapannya pucat pasih.
"Demi Tuhan, bukan saya Bu yang mengambil!"
"Halah, jangan berlagak sok suci. Maling sepertimu mana ada yang mengaku? Katamu, kau melihat kotak
itu di gerbong ini kan? Itu pasti kotak milik saya!" nada bicaranya
semakin meninggi.
"I-Iya,
Bu. Saya memang melihatnya. Tetapi itu dua hari yang lalu. Saya melihat kotak
hitam dibawah bangku itu," kata wanita itu sambil menunjuk bangku
penumpang di depan matanya.
TUT-TUT!!
Suara klakson
masinis kembali terdengar. Kereta itu kembali melaju. Para penumpang yang
sedari tadi hanya melihat tingkah mereka berdua tampak acuh tak acuh. Ada yang
melihat dengan raut muka penuh tanya, ada juga yang berbisik-bisik sambil
menatap aneh wanita itu. Bahkan, ada seorang bapak tua tengah
tidur nyenyak di bawah AC. Udara sejuk itu mengantarkan mereka menuju stasiun
selanjutnya.
"Tenang dulu Bu. Biarkan si Mbak ini menjelaskan kronologi penemuan
kotak hitam itu. Jangan main tuduh satu sama lain," sergah salah satu
petugas keamanan KRL—“Fajar”, nama yang tertera pada seragam biru
gelapnya.
Ibu tua itu terlihat tidak suka di
saat pembicaraannya dengan wanita di hadapannya disela begitu saja oleh
orang lain. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang terlihat geram sambil
menaikkan sebelah alisnya.
Kini matanya menatap wanita didepannya.
“Memang bagaimana peristiwanya, Mbak? Tolong jelaskan pada kami.” tanya Bapak Fajar dengan antusias.
Sambil terisak wanita itu menjawab, " J-jadi, begini,”
Semua mata tertuju pada wanita itu untuk mendengarkan penjelasannya
dengan saksama.
“Kejadiannya berlangsung dua hari yang lalu, ketika petang hari saya pulang
kerja. Sekitar pukul 6 nampaknya. Saya menaiki kereta jurusan Bogor. Saat itu kondisi kereta sangatlah ramai
dan penumpang saling berdesak-desakan,” Wanita itu terlihat menarik
napas dalam-dalam sambil terisak. Tangannya gemetar sambil sesekali memperbaiki
letak kacamatanya.
“P-pada saat itu,
seorang Bapak tua, kira-kira berumur lima puluh-an, menempuk pundak saya dan menawarkan tempat duduknya. Awalnya
saya menolak, tapi karena pada saat itu kondisi tubuh saya lelah, maka saya
memilih duduk. Bapak itu berdiri tepat di depan saya dan menjinjing sebuah
kotak berwarna hitam,”
“Apakah terlihat gerak-gerik yang mencurigakan dari bapak itu?”
tanya Pak Fajar.
“Sepanjang perjalanan saya tertidur pulas sehingga tidak memperhatikan
gerak-gerik bapak itu. Hingga saat
di stasiun Pasar Minggu, saya
terbangun dari tidur. Saya melihat para
penumpang berhamburan keluar gerbong. Bapak itu pun nampaknya juga turun di
stasiun yang sama. Disaat itu, saya merasa kaki saya menginjak sesuatu di bawah
kursi. Ternyata kotak lusuh berwarna hitam. Saya pikir kotak hitam tersebut
milik bapak itu. Sayangnya, saya tidak sempat menanyakan bapak itu, karena
beliau keburu keluar dari gerbong.“
“Lalu, kemana
sekarang kotak itu? Kau mengambilnya bukan?” tanya Ibu itu dengan mata
melotot.
“Saya tidak tahu,
Bu. Sungguh! Setelah bapak itu keluar, saya kembali menaruh kotak itu di atas bangku.
Saya kemudian turun di stasiun selanjutnya.”
“Apa ibu yakin
kotak itu milik ibu? Bagaimana ciri-cirinya?” tanya Pak Fajar kemudian.
“Kotak saya
berwarna hitam legam, ada tulisan AMADOR di sisi depan. Isinya segala dokumen
berharga milik keluarga saya.“
Bapak
itu menatapku, “Apakah kotak yang Mbak lihat ada tulisan AMADOR-nya?”
“Saya tidak tahu Pak. Malam itu saya hanya
melihat kotak itu ada di samping kaki saya.”
“Baik, Bu, Mbak. Kasus kehilangan kotak hitam ini akan kami urus secepatnya.
Selain melakukan pengecekan gerbong, kami akan menanyakan hal ini kepada
petugas kebersihan di kereta. Mungkin saja mereka melihat kotak milik ibu,”
balas si petugas keamanan.
Ibu itu mendengus kesal. Kedua matanya
masih menatap tajam mataku. Aku hanya bisa menunduk dan menghela nafas
panjang.
***
Dua Minggu berlalu
sejak fitnah itu ditujukan padaku. Penuduhan itu ternyata tidak benar. Dan aku
tidak jadi dilibatkan atas kasus kehilangan ini. “Puji Tuhan..” kataku
dalam hati. Namun, peristiwa itu
masih terbayang jelas di kepalaku. Wajah ibu itu masih membentengi pikiranku.
Bahkan ucapannya masih terasa sakit hingga ke ulu hati.
“Na...”
Wanita itu sepertinya tidak mendengar.
“Ratna..”
PLAK!
“Astaga Mas Eza!”
Mataku terbelalak kaget. Tepukan keras dipundak seketika membuyarkan lamunanku.
Pria itu tersenyum
menatapku.
“Melamun saja.
Masih memikirkan kotak hitam itu?”
Aku mengangguk.
“Hmm—iya Mas. Aku masih penasaran, siapa
sebenarnya yang mengambil kotak hitam milik ibu itu?”
“Kau tak perlu
memikirkan wanita itu. Polisi telah berhasil menangkap pelakunya.”
“Maksudmu?”
tanyaku bingung.
“Lihat berita
ini,” kata Mas Eza sambil menunjuk headline berita di koran.
Di halaman depan
koran itu terpampang jelas sebuah kalimat dengan huruf cetak, “Polisi
Mengungkap Sindikat Pemalsuan Surat Tanah”.
“Pemalsuan surat
tanah?”
“Ya, benar. Dan
kau kenal pria ini?” Mas Eza menunjukkan foto pria di sampingnya.
Aku melihatnya
baik-baik dan merasa pernah bertemu dengan pria tesebut. Bapak ini kan?
“Astaga, aku tahu,
Mas! Bapak ini yang memberikanku duduk di kereta malam itu. Tapi bagaimana
bisa?” tanyaku tidak percaya.
“Namanya
Aryo. Bapak itu yang membawa kabur
kotak hitam milik mantan istrinya. Kotak yang berisi surat tanah milik ibu itu
di curinya malam sebelum pria itu berhasil kabur menggunakan kereta. Ia pergi
membawa kabur surat tanah milik Ibu itu untuk dibuat sertifikat
aspal—asli tapi palsu!”
“Bagaimana Polisi bisa menemukan bapak tua ini?”
“Menurut berita, polisi melakukan pengecekan gerbong bersama pihak KRL pada
kereta dengan jurusan yang sama seperti Pak Aryo naiki malam itu. Dan ternyata benar, setelah
ditemukan kotak hitam itu, di dalamnya terdapat sertifikat asli milik Astri Setiyawati. Mereka segera melacak keberadaan bapak ini.”
“Aryo? Lalu, apa
hubungannya Pak Aryo dengan
ibu tersebut?”
“Ibu yang
kamu temui bernama Astri. Dia adalah mantan istrinya Pak Aryo, Na.”
Aku terbelalak
kaget. Tidak menyangka bahwa bapak tua yang terlihat baik itu ternyata terlibat
dalam kasus pemalsuan dokumen.
“Lalu bagaimana dengan sertifikat asli milik ibu itu, Mas?
Dan.. Untuk apa sertifikat palsu itu?” tanyaku penasaran.
“Berdasarkan hasil penyelidikan, sertifikat tanah asli milik mantan
istrinya dijual kepada temannya. Usut punya usut, bapak ini ingin menguasai
seluruh harta waris setelah perceraian mereka di proses. Bapak itu berniat
menukar sertifikat asli dengan sertifikat palsu itu untuk mantan istrinya.”
“Sungguh terlalu orang jaman sekarang, Mas. Pikirannya sudah terkotori
oleh nafsu duniawi. Diluarnya
terlihat baik, tapi didalamnya menyimpan niat busuk juga!” kataku geram.
Aku benar-benar tidak percaya, begitu licik perbuatan bapak tua itu terhadap
istrinya.
“Begitulah manusia, Na. Tidak selamanya orang yang terlihat baik memiliki
hati yang baik. Begitupun
sebaliknya. Orang yang terlihat jahat dan kejam sekalipun sebenarnya
memiliki moral yang lebih baik. Hanya saja, emosi sesaat terkadang membutakannya.”
“Tapi Mas, masih kerasa sakitnya hatiku Mas dituduh sebagai pencuri.”
Pria itu mendekati istrinya, dan mengelus
rambutnya dengan lembut.
“Ratna, Mas tahu pasti akan terasa
sakit jika orang menghakimi
kamu tanpa bukti yang jelas. Tapi,
kita jadi orang perlu legowo. Semua sudah diatur yang Maha Kuasa. Tak
perlu menunggu Ibu itu meminta maaf dahulu ke kamu. Yang penting, kamu sudah
maafin Ibu itu, Na.“
***
Sebulan setelah
peristiwa itu terjadi, semua terungkap begitu saja. Pada akhirnya, Bapak yang
terlibat dalam kasus pemalsuan surat tanah dikenakan sanksi kurungan selama
tujuh tahun penjara. Sementara si ibu—dua minggu setelah polisi membawa mantan suaminya ke
tahanan, beliau datang ke rumahku untuk meminta maaf atas penuduhan yang telah
dilakukannya. Beliau tidak percaya bahwa mantan suaminya terlibat dalam
kasus ini.
Aku tersenyum mengingat semua ini. Mas Eza benar. Kita sebagai manusia perlu
bersabar dan mampu memaafkan sesama yang berbuat buruk terhadap kita.
Comments
Post a Comment