Nafasku benar-benar sesak. Aku nyaris terjatuh karena baru saja menabrak
seseorang di depanku. Aku tidak peduli siapa orang yang barusan aku tabrak. Aku
bergegas masuk ke dalam kamar.
Aku menutup telinga rapat-rapat dengan bantalku. Seketika ruangan
menjadi hening. Tidak ada suara yang mengganggu ketenanganku. Setidaknya, saat
ini aku bisa bernafas lega. Hingga beberapa detik kemudian aku mendengar
seseorang berkomentar dari luar.
“Dia anaknya ansos ya?”
Terdengar seorang wanita bertanya pada Mama.
“Dia memang anaknya pemalu,” balas Mama sambil terkekeh pelan.
Sesekali aku mengintip dari balik tirai. Aku melihat raut wajah
Mama berubah menjadi masam. Senyumnya
terlihat dipaksakan. Pasti ia marah dengan sikapku barusan. Aku merebahkan
tubuhku di atas kasur. Aku melihat langit-langit kamarku sambil terdiam. Masih
terdengar sayup-sayup suara tangis Edgar, gonggongan anjing, sendok jatuh, tawa
Mama, balon pecah, celotehan Tante Titi, hingga suara perutku yang sedari pagi
belum diisi.
Lapar.
Satu kata yang mewakili perutku saat ini. Ingin rasanya aku keluar
untuk mengambil sepiring nasi dan ayam goreng, kemudian kembali masuk ke dalam
kamar. Namun rasanya mustahil. Aku tak ingin kembali berada ditengah-tengah
manusia itu, dan diteror berbagai pertanyaan tidak penting. Bagiku, mereka
hanya ini tahu tentangku tanpa ada rasa peduli.
Aku benci keramaian. Aku hanya menangis sejadi-jadinya ketika
mereka terlihat asyik tanpaku. Aku memejamkan mataku hingga akhirnya tertidur
pulas. Di dalam mimpiku, aku bertemu Papa. Beliau memakai baju serba putih dan
sedang duduk di sofa sembari memandangi wajahku. Rambut dengan belahan samping dan berwarna hitam legam. Ya, Papa tidak pernah berubah.
“Diana, ayo kesini.” Papa tersenyum, senyuman terindah yang pernah
ku lihat selama ini.
Aku menghampiri Papa dan segera memeluknya dengan erat. Aku
menangis dalam dekapan Papa. Aku merasakan telapak tangan Papa yang sedikit
kasar membelai lembut rambutku.
“Dian kangen Papa..” bisikku pelan dibalik isak tangisku. “Papa
tahu, Nak. Papa juga kangen Dian,” Papa terdiam dan perlahan melepaskan
pelukannya.
“Mengapa kamu menangis?” tanya Papa dengan penuh hati-hati. Ia
memandangku lekat-lekat. Terlihat kedamaian dibalik kedua mata coklatnya.
“Pa, apakah Dian ini jelek?” tanyaku tiba-tiba pada Papa. Papa
memegang wajahku kemudian tersenyum.
“Siapa bilang? Kamu adalah anak Papa yang paling cantik se-dunia,”
ucap Papa dengan suara beratnya. Pujian itu terdengar tulus tanpa basa-basi.
“Dian malu, Pa. Dian kesepian. Tidak ada yang menyayangi Dian.
Dian merasa tidak ada yang ingin berteman dengan Dian karena wajah Dian
terlihat buruk di mata mereka,” ucapku sambil terisak.
“Dian sayang, banyak orang disekitarmu yang menyayangimu dengan
tulus. Ada Mama, Edgar, Tante Titi dan Papa. Kami semua sangat menyayangimu,
Nak,” Papa mengusap air mataku dan mencium keningku dengan lembut.
“Dian takut, Pa..” Aku menggegam erat tangan Papa.
“Apa yang kamu takuti?”
“Dian takut mereka menyakiti Dian, Pa. Mereka selalu ingin tahu
tentang Dian, tanpa sedikitpun peduli dengan perasaan Dian. Mereka hanya ingin
meledek Dian, karena Dian berbeda dengan mereka Pa.” Aku langsung memeluknya
dan tangisku pecah seketika. Aku
benar-benar merindukan pelukan hangat ini. Pelukannya yang selalu membuatku
nyaman dan percaya bahwa selama ini beliau selalu menjagaku.
“Diana sayang, kamu adalah anak Papa yang hebat. Tidak ada wanita
sekuat dirimu. Kamu harus ingat, kamu adalah pemberian terindah dari Tuhan
untuk Papa dan Mama. Kamu beruntung diwariskan wajah cantik Mama dan kamu patut
mensyukurinya,” Aku tertegun mendengar ucapan Papa. Wajah cantik?
“Jangan menutup diri, Nak. Ada kalanya kamu perlu melihat dunia. Kamu
tidak perlu mendengarkan kata-kata negatif dari mereka. Tapi cobalah menjadi
dirimu sendiri yang berani dan kuat dalam menjalani kehidupan, Nak. Papa
memberi nama kamu Diana, karena papa ingin kamu menjadi sosok wanita yang
berani dan kuat,” lanjut Papa.
“Jadi jangan takut lagi ya, Dian. Papa sayang kamu,” kata Papa
kemudian menghilang.
Tunggu, Pa. Tunggu. Jangan menghilang dulu, aku hanya ingin
mengucapkan terima kasih. Karena Papa selalu menyayangiku dan menjagaku setiap
waktu. Ya, hubunganku dengan Papa sangat dekat. Aku selalu bercerita kepadanya
setiap kali aku merasa sedih. Papa selalu menasihatiku dengan solusi terbaik
darinya. Aku sangat menyayanginya, melebihi diriku sendiri.
***
Gadis muda dengan penyakit kulit akut berdiri di hadapan cermin.
Hampir seluruh kulitnya memiliki bercak putih yang baginya menjijikan. Pelipis, mata,
dahi, hidung, mulut, hingga sekujur badannya yang kurus kering. Ia menangis
terisak, menyisahkan wajah buruk rupa dengan mata sembabnya. Itulah aku, Diana
Anggraini yang kata Papa adalah anak yang paling cantik sedunia.
Kata dokter, aku mengidap penyakit kelainan genetik yaitu
Vitiligo. Penyakit ini membuatku kehilangan sebagian warna pigmen tubuhku. Tidak banyak orang
yang mengidap penyakit sepertiku. Meski kata dokter penyakitku tidak menular, tetapi
tetap saja aku takut. Aku takut menyakiti mereka dan sebaliknya. Pernah suatu
hari aku mendengar seorang anak kecil menjerit ketakutan setelah menatapku.
“Hantu!!!!” teriak anak kecil
itu.
Sedangkan aku hanya bisa menatap nanar ke arahnya dengan mata berair. Sejak
saat itu, aku tidak menyukai untuk bertemu dengan banyak orang. Aku lebih suka
menyendiri, kecuali bertemu Mama dan Edgar.
Seringkali aku menutupi sekujur tangan dan wajahku dengan perban
agar mereka tidak melihat bercak pada tubuhku. Alhasil, mereka sering
menyebutku tidak waras. Bukan, aku bukan tidak waras. Aku hanya tidak percaya
diri dengan bercak di tubuhku.
Aku membuka kedua mataku dan tersentak menatap jam dinding. Selama tiga jam lamanya aku
tertidur dan bertemu Papa. Bisakah aku mundurkan waktu? Aku ingin kembali
melanjutkan mimpi indahku.
Hampa.
Aku kembali mengintip dari
balik tirai. Tidak ada orang. Kemana mereka semua? Kemana Mama? Kemana Edgar? Kemana
suara-suara itu? Kenapa mereka meninggalkanku? Kemana pesta itu? Entahlah, aku
tidak peduli.
Aku kembali duduk di depan meja rias dan menatap bayanganku di cermin.
“Hei! Aku tidak cacat!” tatapan itu seperti meyakinkanku.
“Aku beruntung diwariskan wajah cantik Mama,” kataku sambil tersenyum
dan menyentuh wajahku.
Seorang pria menatapku sambil tersenyum lebar dari balik figura. Dialah
sosok pria yang berhasil membangkitkan kembali semangatku. Dialah keabadian di
dalam hatiku, kini hingga selama-lamanya.
“Terima kasih, Pa. Aku berjanji akan melanjutkan hidupku dengan
bahagia.”
Comments
Post a Comment