Skip to main content

Ochlophobia.

pixabay/free-photos
Gelap.
Nafasku benar-benar sesak. Aku nyaris terjatuh karena baru saja menabrak seseorang di depanku. Aku tidak peduli siapa orang yang barusan aku tabrak. Aku bergegas masuk ke dalam kamar.
Aku menutup telinga rapat-rapat dengan bantalku. Seketika ruangan menjadi hening. Tidak ada suara yang mengganggu ketenanganku. Setidaknya, saat ini aku bisa bernafas lega. Hingga beberapa detik kemudian aku mendengar seseorang berkomentar dari luar.
“Dia anaknya an-sos ya?” Terdengar seorang wanita bertanya pada Mama.
“Dia memang anaknya pemalu,” balas Mama sambil terkekeh pelan.
Sesekali aku mengintip dari balik tirai. Aku melihat raut wajah Mama berubah menjadi masam.  Senyumnya terlihat dipaksakan. Pasti ia marah dengan sikapku barusan. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur. Aku melihat langit-langit kamarku sambil terdiam. Masih terdengar sayup-sayup suara tangis Edgar, gonggongan anjing, sendok jatuh, tawa Mama, balon pecah, celotehan Tante Titi, hingga suara perutku yang sedari pagi belum diisi.
Lapar.
Satu kata yang mewakili perutku saat ini. Ingin rasanya aku keluar untuk mengambil sepiring nasi dan ayam goreng, kemudian kembali masuk ke dalam kamar. Namun rasanya mustahil. Aku tak ingin kembali berada ditengah-tengah manusia itu, dan diteror berbagai pertanyaan yang tidak penting. Bagiku, mereka hanya ini tahu tentangku tanpa ada rasa peduli.
Aku benci keramaian. Aku hanya menangis sejadi-jadinya ketika mereka terlihat asyik tanpaku. Aku memejamkan mataku hingga akhirnya tertidur pulas. Di dalam mimpiku, aku bertemu Papa. Beliau memakai baju serba putih dan sedang duduk di sofa sembari memandangi wajahku. Rambut dengan belahan samping dan berwarna hitam legam. Ya, Papa tidak pernah berubah. 
“Diana, ayo kesini.” Papa tersenyum, senyuman terindah yang pernah ku lihat selama ini.
Aku menghampiri Papa dan segera memeluknya dengan erat. Aku menangis dalam dekapan Papa. Aku merasakan telapak tangan Papa yang sedikit kasar membelai lembut rambutku.
“Dian kangen Papa..” bisikku pelan dibalik isak tangisku. “Papa tahu, Nak. Papa juga kangen Dian,” Papa terdiam dan perlahan melepaskan pelukannya.
“Mengapa kamu menangis?” tanya Papa dengan penuh hati-hati. Ia memandangku lekat-lekat. Terlihat kedamaian dibalik kedua mata coklatnya.
“Pa, apakah Dian ini jelek?” tanyaku tiba-tiba pada Papa. Papa memegang wajahku kemudian tersenyum.
“Siapa bilang? Kamu adalah anak Papa yang paling cantik se-dunia,” ucap Papa dengan suara beratnya. Pujian itu terdengar tulus tanpa basa-basi.
“Dian malu, Pa. Dian kesepian. Tidak ada yang menyayangi Dian. Dian merasa tidak ada yang ingin berteman dengan Dian karena wajah Dian terlihat buruk di mata mereka,” ucapku sambil terisak.
“Dian sayang, banyak orang disekitarmu yang menyayangimu dengan tulus. Ada Mama, Edgar, Tante Titi dan Papa. Kami semua sangat menyayangimu, Nak,” Papa mengusap air mataku dan mencium keningku dengan lembut.
“Dian takut, Pa..” Aku menggegam erat tangan Papa.
“Apa yang kamu takuti?”
“Dian takut mereka menyakiti Dian, Pa. Mereka selalu ingin tahu tentang Dian, tanpa sedikitpun peduli dengan perasaan Dian. Mereka hanya ingin meledek Dian, karena Dian berbeda dengan mereka Pa.” Aku langsung memeluknya dan tangisku pecah seketika.  Aku benar-benar merindukan pelukan hangat ini. Pelukannya yang selalu membuatku nyaman dan percaya bahwa selama ini beliau selalu menjagaku.
“Diana sayang, kamu adalah anak Papa yang hebat. Tidak ada wanita sekuat dirimu. Kamu harus ingat, kamu adalah pemberian terindah dari Tuhan untuk Papa dan Mama. Kamu beruntung diwariskan wajah cantik Mama dan kamu patut mensyukurinya,” Aku tertegun mendengar ucapan Papa. Wajah cantik?
“Jangan menutup diri, Nak. Ada kalanya kamu perlu melihat dunia. Kamu tidak perlu mendengarkan kata-kata negatif dari mereka. Tapi cobalah menjadi dirimu sendiri yang berani dan kuat dalam menjalani kehidupan, Nak. Papa memberi nama kamu Diana, karena papa ingin kamu menjadi sosok wanita yang berani dan kuat,” lanjut Papa.
“Jadi jangan takut lagi ya, Dian. Papa sayang kamu,” kata Papa kemudian menghilang.
Tunggu, Pa. Tunggu. Jangan menghilang dulu, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Karena Papa selalu menyayangiku dan menjagaku setiap waktu. Ya, hubunganku dengan Papa sangat dekat. Aku selalu bercerita kepadanya setiap kali aku merasa sedih. Papa selalu menasehatiku dengan solusi terbaik darinya. Aku sangat menyayanginya, melebihi diriku sendiri.
***
Gadis muda dengan penyakit kulit akut berdiri di hadapan cermin. Hampir seluruh kulitnya memiliki bercak putih yang menjijikan. Pelipis, mata, dahi, hidung, mulut, hingga sekujur badannya yang kurus kering. Ia menangis terisak, menyisahkan wajah buruk rupa dengan mata sembabnya. Itulah aku, Diana Anggraini yang kata Papa adalah anak yang paling cantik sedunia.
Kata dokter, aku mengidap penyakit kelainan genetik yaitu Vitiligo. Penyakit ini membuatku kehilangan sebagian warna pigmen tubuhku. Tidak banyak orang yang mengidap penyakit sepertiku. Meski kata dokter penyakitku tidak menular, tetapi tetap saja aku takut. Aku takut menyakiti mereka dan sebaliknya. Pernah suatu hari aku mendengar seorang anak kecil menjerit ketakutan setelah menatapku.
“Hantu!!!!”  teriak anak kecil itu. Sedangkan aku hanya bisa menatap nanar ke arahnya dengan mata berair. Sejak saat itu, aku tidak menyukai untuk bertemu dengan banyak orang dan lebih suka menyendiri. Terkecuali bertemu Mama dan Edgar.
Seringkali aku menutupi sekujur tangan dan wajahku dengan perban agar mereka tidak melihat bercak pada tubuhku. Alhasil, mereka sering menyebutku tidak waras. Bukan, aku bukan tidak waras. Aku hanya tidak percaya diri dengan bercak di tubuhku.
Mataku tersentak menatap jam dinding. Selama tiga jam lamanya aku tertidur dan bertemu Papa. Bisakah aku mundurkan waktu? Aku ingin kembali melanjutkan mimpi indahku.
Hampa.
 Aku kembali mengintip dari balik tirai. Tidak ada orang. Kemana mereka semua? Kemana Mama? Kemana Edgar? Kemana suara-suara itu? Kenapa mereka meninggalkanku? Kemana pesta itu? Entahlah, aku tidak peduli.
Aku kembali duduk di depan meja rias dan menatap bayanganku di cermin.
“Hei! Aku tidak cacat!” tatapan itu seperti menantangku. Aku mengangguk dengan yakin.
“Aku beruntung diwariskan wajah cantik Mama,” kataku sambil tersenyum dan menyentuh wajahku.
Seorang pria menatapku sambil tersenyum lebar dari balik figura. Dialah sosok pria yang berhasil membangkitkan kembali semangatku. Dialah keabadian di dalam hatiku, kini hingga selama-lamanya.
“Terima kasih, Pa. Aku berjanji akan melanjutkan hidupku dengan bahagia.”
TAMAT.

Comments

Popular posts from this blog

Aku tak membenci Hujan.

Hujan mengingatkanku akan sebuah kenangan. Karena saat hujan turun,  ia senantiasa memberikan kenangan baru dalam memoriku. Kenangan antara aku dan seseorang yang kucintai. Terkadang hujan datang tak kenal waktu, Namun ia mengerti dan paham kapan waktunya mereda. Bahkan, Seringkali hujan sengaja menjebak kita di tempat yang sama. dan dengan pertanyaan yang sama, "Kapan hujan ini reda?" Dan aku selalu menikmati kehadirannya. Bagiku, hujan memiliki kekuatan tersendiri, untuk menghadirkan kebahagiaan di setiap insan manusia. Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Sebab selalu ada senyuman yang kulihat setelah hujan reda. Senyumanmu,  gelak tawamu,  bahkan candaan yang senantiasa menghibur hati. Kau tahu mengapa aku tak menbenci hujan? Sebab selalu ada genggaman hangat di jemariku dan seolah ikut berkata,"Tenanglah, Aku ada disini." Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Karena hujan pandai menyamarkan kesedihan di wajahku. Ia tak pernah t

Lukisan Hujan - Sitta Karina

Resensi Novel   Judul Novel                  :  Lukisan Hujan   Pengarang                  :  Sitta Karina   Penerbit                      :   Terrant Books Tahun                         : 2004   Genre                        :   Novel Remaja(Romance) Tebal buku                  :   386 halaman  ISBN                        :  979-3750-00-6 ·          Sinopsis Novel      Novel “Lukisan Hujan” mengangkat cerita tentang kehidupan Diaz Hanafiah – cowok keturunan Hanafiah Group yang kaya raya dan terkenal, bagian dari  sosialita Jakarta. Orang tuanya merupakan pemilik “Hanafiah Group”, namun Diaz merupakan cowok yang bersikap dingin dan cuek. Karena kesederhanaan yang ditunjukan, dia sering diolok-olok karena tidak se- elite dan se- glamour sepupu-sepupunya.     Dimulai dari kedatangan tetangga baru seorang cewek bernama Sisy yang menggemparkan teman-temannya di komplek Bintaro Lakeside. Diaz yang awalnya penasaran akhirnya malah berkenalan di suatu

De Buron - Maria Jaclyn

PROLOG "Kalau kamu menyayangi seseorang, kamu enggak harus bersama dia untuk menjadi bahagia.Walaupun kalian berpisah,kamu pasti akan bahagia kalau melihatnya bahagia. Kurasa caramu menjadi bahagia salah, karena kulihat sekarang kamu cuma menyakiti dirimu sendiri," kata Ditya lagi.  Judul: De Buron Penulis: Maria Jaclyn Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2005 Jumlah Halaman: 248 Halaman Kategori: Novel ISBN: 979-22-1396-1 Ukuran: 20 cm x 13,5 cm Harga: Rp 26.500,00     Pernah nggak sih kalian ngerasain betapa takutnya didatangi oleh  "Buronan" ? Cemas, Takut, Khawatir pasti menghinggapi perasaan kalian. Perasaan yang serupa timbul pada diri Kimly, cewe baik dan supel, ketika sosok pria bernama Raditya datang ke kehidupannya, hingga akhirnya Ia menyadari akan suatu hal pada sosok Ditya. Novel “De Buron” merupakan salah satu novel romance berbakat karangan Maria Jaclyn,penulis novel berbakat tahun 2005. Novel ini mengangkat