Mungkin beliau sempat tersenyum, namun kami tidak melihatnya. Ya, hanya senyuman semu.
Aku
masih mengingatnya. Begitu jelas. Bahkan hingga saat ini. Kejadian ini
terjadi kemarin pagi sekitar pukul 10.00. Aku dan Ibuku berencana pergi menuju
sebuah Universitas di daerah Jakarta. Kami menggunakan kereta commuter line
jurusan Tanah Abang sebagai alat transportasi. Selain harganya terjangkau, kami
juga ingin cepat sampai tujuan. Kami menunggu kereta di stasiun Rawa Buntu. Tak
berapa lama, kereta tersebut datang dan kami masuk ke dalam kereta. Suasana
dalam kereta cukup ramai. Kursi kereta hampir terisi penuh oleh
penumpang.
Kami
pun berdiri dekat gerbong masinis. Beberapa orang yang tidak kebagian tempat
duduk memilih duduk menghampar di lantai kereta, dan beberapa memilih berdiri.
Tak berapa lama, kereta melaju dengan cepat hingga sampai di stasiun
selanjutnya yaitu Stasiun Sudimara. Seorang ibu muda berkacamata, tersenyum
menatap kami. Hingga akhirnya kami saling bercengkramah satu dengan yang lain.
Namun, suasana berubah ketika kami sampai di stasiun selanjutnya, Stasiun
Pondok Ranji. Gerombolan orang masuk kedalam kereta, membuat kondisi kereta
benar-benar penuh sesak. Bagaimana denganku? Aku hampir tidak bernyawa berdiri
menempel gerbong masinis. Orang-orang berdiri di depanku membuatku sulit
bergerak. Benar-benar menyiksa!
Tiba-tiba, orang terakhir masuk kedalam kereta sebelum akhirnya
pintu kereta tertutup. Dari sela-sela desakan penumpang, aku melihat seorang
ibu tua, usianya sekitar kepala enam, masuk dengan menenteng dua kardus
berukuran sedang. Ibu itu terlihat sendirian. Tatapannya kosong. Matanya layu,
senyumannya hambar bahkan hampir tidak terlihat. Ibu itu berkali-kali menengok
ke arahku. Garis-garis kerut di sekitar matanya terlihat nyata. Tatapannya
kurang bersahabat, bahkan barang yang bawaan miliknya didekap erat di antara
kedua sela kakinya. Dalam hati, aku berkata, "Apa ada yang salah
denganku?"
Semua penumpang diam. Tidak ada yang menyapanya. Bahkan, kakiku gemetar, setiap
beliau menatap ke arahku. Tatapannya tajam, seperti membenci orang-orang di
dalam gerbong ini termasuk aku. Hingga akhirnya, kereta kami sampai di Stasiun
Kebayoran. Ibu tua itu turun dan membawa kardus itu sendirian. "Tidak
usah!" Suara itu berasal dari si ibu tua , ketika beliau ingin
dibantu oleh penumpang lain. Pintu kereta pun tertutup kembali. Kereta itu
kembali melaju.
"Biarinin
aja, Ibu itu memang sering marah," kata si ibu muda berkacamata
terhadap penumpang yang menolong ibu tua tadi. Kami pun terheran-heran
setelah mendengar penjelasan si ibu berkacamata. Ia berkata, bahwa ibu tua itu
sering berperilaku tidak bersahabat seperti tadi. Beliau tidak suka jika ada
yang menolongnya bahkan bertanya dengannya. Hal itu membuatku terdiam, tak
percaya. Tak terasa, kami sampai juga di stasiun Palmerah.
Aku
masih terheran-heran hingga saat ini. Apa yang sebenarnya terjadi dengan ibu
tua itu? Apakah ada yang membuatnya malas untuk tersenyum? Mungkin beliau
sempat tersenyum, namun kami tidak melihatnya. Ya, hanya senyuman semu.
TAMAT
Comments
Post a Comment