Skip to main content

Ku Menemukanmu dalam Rintiknya.

freepik.com

Hujan deras mengguyur kota metropolitan malam ini. Aku kembali terjebak di kondisi yang begitu menyesakkan. Namun kali ini berbeda dengan kejadian yang kualami tadi siang di SMA Tunas Sentosa. 

Aku menatap jam dinding di depanku dengan perasaan gelisah. Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam namun Rey belum juga datang. 

    "Rey dimana ya Fi? Katanya tiga puluh menit lagi sampai, tapi ini udah jam sembilan kok belum sampai rumah ya?" ujarku panik. 

    "Mungkin kejebak hujan kali Sha, coba aja lo telpon dia," kata Fio sambil mencoba menenangkanku. Fio menyadari bahwa Nesha panik menanti kepulangan Rey. Terlihat dari raut muka Nesha yang tampak berkerut. 

    "Udah, tapi nggak aktif ponselnya. Duh, kenapa sih dia? Bikin orang panik aja," ujarku sambil berjalan mondar-mandir di depan pintu seperti setrikaan Bi Ijah. 

TOK-TOK!

    "Sha, sha.. bukain dong..." 

Terdengar suara Rey dari balik pintu. Aku langsung menghambur ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Terlihat muka Rey yang basah kuyup sambil nyengir lebar di depanku. 

    "Nih ambil buat lo," ujar Rey sambil menyodorkan bungkus plastik berisikan styrofoam. 

    "Tadi kedai ayam bakarnya udah tutup, jadi gue beliin nasi goreng aja ya. Nggak pedas, nggak pakai sayur dan daun bawang." 

Aku tertegun menatap Rey. Dalam keadaan basah kuyup, wajahnya masih tersenyum ceria meski badannya terlihat menggigil. Bahkan, dia yang ku anggap cuek, ternyata tahu secara detail makanan kesukaaanku. Tanpa terasa air mataku mengalir di pipi. 

   "E-eh lo kenapa nangis? Maaf ya gue kemaleman. Tadi hujan deras jadi gue neduh dulu," ujar Rey dengan nada khawatir. 

    "G-gapapa kok Rey, maafin gue ya," Rey menatapku bingung. 

   "Gara-gara lo beliin gue makanan, lo jadi kehujanan gini," ujarku sambil terisak nangis. 

Rey terkekeh seraya mengusap puncak rambutku. "Yeee.. gapapa kali, ini kan emang udah tugas gue untuk pastiin tuan putri nggak kelaparan malam ini," 

Aku tersenyum dan tertegun menatap mata Rey. 

Entah kenapa perlakukan lo beda dari biasanya Rey..

Rey yang terlihat menggigil langsung melambaikan tangan di depanku. 

    "Hello? Gue nggak dikasih masuk nih? Dingin banget diluar.." 

    "E-eh iya masuk, masuk!" kataku tersentak dari lamunan. 

Aku segera mengambil handuk berwarna merah muda dari kamarku, kemudian kuberikan kepada Rey. "Nih, mandi dulu sebelum masuk angin," 

    "Emang kalo mandinya sesudah masuk angin gimana tuh?" tanya Rey polos. 

    "Ihh j-jangan lah, nanti lo s-sakit," balasku gugup. Lo kenapa si Sha jadi gagap gini? 

    "Eh si aden kenapa basah kuyup gitu?" Tiba-tiba Bi Ijah menyembulkan kepalanya dari balik dapur dengan kain lap di tangannya. Matanya terbelalak kaget menatap Rey yang basah kuyup seperti ayam yang habis kecebur sungai.

    "Eh si Bibi..Iya nih Bi, habis kecebur got tadi.. hehehe," balas Rey asal. 

    "1Naha kitu si aden? Mun mawa motor teh kade atuh," ujar Bi Ijah khawatir. 

    "Iya Bi, meleng tadi saya bawa motornya," ujar Rey sambil terkekeh. Bi Ijah dengan polosnya percaya begitu saja ucapan Rey. 

    "2Muhun, hayu urang mandi heula," ujar Bi Ijah. 

    "Siap 86! Punten, Bi," balas Rey sambil memberi hormat kemudian bergegas menuju kamar mandi. Bi Ijah yang melihat kelakuan Rey hanya menggelengkan kepala.

Tanpa ku sadari, sedari tadi Fio mesem-mesem menatapku.

    "Cie...cie... ada yang khawatir nih yee," ledek Fio sambil cengar-cengir menatapku. 

    "Issh, apa sih Fi, nggak kok. G-gue cuma khawatir aja," balasku gugup. 

    "Khawatir atau.....sayang?" ledek Fio.

    "Issssh Fioooo..." dengusku kesal. Apa iya gue khawatir banget sama Rey? Kok lo aneh si Sha..

    "E-eh.. canda yaa.. Serius amat. Udah ah, gue pulang dulu. Udah malem, takut dikonciin nyokap gue," ujar Fio sambil berjalan mengambil tas miliknya di atas sofa. 

    "Lo pulang naik apa Fi?" tanyaku bingung. 

    "Supir gue udah nunggu diluar. By the way, thanks ya Sha, kutek lo buat jari gue kayak Princess Aurora," ujar Fio sumringah sambil mengibaskan jarinya yang berwarna kuning keemasan dan berharap cat kukunya segera mengering. 

    "Iya-iya.. Princess Fiorenza Alena Putri.... Udah sana pulang! Gue nggak sudi kutek gue habis sama lo," balasku dengan nada jengkel. 

    "Yee, baru aja gue mau habisin satu botol," balas Fio sambil terkekeh pelan. 

Aku hanya menggeleng pelan mendengar ucapan Fio kemudian mengantarnya sampai depan gerbang rumah.

    "Hati-hati ya Fi di jalan,"  ucapku pada Fio.

    "Oke Sha, salam ya buat Rey. Gue balik duluan. Bye, Sha!" ujar Fio sambil melambaikan tangan kemudian segera masuk mobil. 

Aku membalas lambaikan tangannya hingga mobilnya berlalu. Aku berjalan masuk ke dalam rumah sambil memikirkan ucapan Fio. Seketika, ada perasaan yang membuat hatiku janggal. Apa iya gue mulai menyukai Rey? 

***

Pagi ini cuaca tidak secerah biasanya. Matahari masih menyembunyikan senyum terbaiknya di balik awan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh.  Pelajaran matematika hari ini terasa sulit, padahal materi hari ini hanya membahas tentang probabilitas. 

Aku tidak menyadari sedari tadi Fio memperhatikanku yang sedang menatap kosong ke arah luar jendela. 

    "Sha.." 

    "Sha..."

    "Sha!" 

Aku tersentak dari lamunan singkatku dan menatap Fio dengan kesal. 

    "Apa sih Fi? Ngagetin aja!" 

    "Lo ngelamunin siapa sih? Mikirin Rey ya?" 

    "Hmm ga kok," ucapku bohong. Iya Gue mikirin lo Rey...

Ting! 

"Good Morning Kanesha Sayang! HAHA. Semangat hari ini belajarnya. Nanti plg aku jemput ya."

Deg! 

Aku? Sayang? Rey tumben amat jadi manis gini? Duh, kenapa gue jadi salting gini ya... 

Aku segera membalas chatnya. 

"Ih sok manis amat! :> Emg lo udh sembuh? Masih sakit juga! Makanan dari gue udah dimakan blm?"

Ting!

"Udah dong, gw abisin sampe ludes dalam hitungan detik. Bi Ijah tadi yg kirimin. Thx yaa Sha, enak banget masakan lo!" 

Aku tersenyum membaca pesan dari Rey. Tanpa kusadari, Fio memperhatikanku dengan tatapan jahil. 

    "Ecie.... siapa tuh yang bikin lo senyam-senyum?" 

Aku segera menutup ponselku dan menatap Fio dengan kaget, "Ih apa sih lo ngintip-ngintip. N-nggak kok, ini Rey barusan chat katanya mau jemput," balasku gugup. 

    "Duile, daritadi mikirin ayang ternyata. Pantes hari ini suram banget muka lo. Kayak masa depan," ucap Fio asal. 

    "Ish apaan sih Fi? Bukan ayang! Ayang gue tetep......."

    "Tetep....Rey?" 

    "Ish kok bahas Rey terus sih. Lagian, nggak mungkin juga Rey suka sama gue Fi," balasku santai. Apa iya Rey suka sama gue? 

    "Siapa bilang?" 

    "Maksud lo?" 

Fio hanya membalasku dengan senyum misterius sambil menaikkan kedua alisnya.

***

Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan pelajaran sudah selesai. Aku dan Fio berjalan pelan menuju lorong kelas, tapi pikiranku masih tertinggal di kalimat terakhir Fio tadi.

    “Siapa bilang?”

Senyumnya masih menghantui otakku.

Rey suka aku? Nggak mungkin. Atau mungkin?

Saat kami melewati ruang band, langkahku mendadak berhenti. Di balik pintu yang terbuka separuh, aku melihat sesosok punggung yang sangat kukenal. Axel.

Dia sedang merapikan gitar listriknya ke dalam case hitam, lalu mengambil beberapa kabel yang tergulung rapi. Rambutnya masih acak-acakan seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Lebih murung. Lebih kosong.

Aku terdiam di ambang pintu. Entah mengapa jantungku berdebar lebih cepat. Fio menatapku, lalu memberi kode dengan dagunya. “Masuk, Sha.”

Aku mengangguk pelan dan melangkah masuk.

    “Axel?” panggilku pelan.

Axel menoleh. Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi tidak seperti biasanya. Senyum itu tidak sampai ke matanya.

    “Nesha... hey,” jawabnya pelan.

    “Lo... lagi ngapain?” tanyaku canggung.

  “Ngeberesin alat. Kayaknya ini terakhir kalinya gue di sini,” ucapnya pelan sambil duduk di kursi kecil dekat amplifier.

Aku membeku. “Maksudnya?”

Axel menatapku lama. Ada jeda di antara napasnya sebelum akhirnya dia bicara.

    “Gue bakal pindah, Sha. Minggu depan,” ucapnya akhirnya.

Dunia seolah berhenti sejenak. Aku tidak bisa berkata-kata.

    “Pindah?” bisikku akhirnya. “Tapi... Ujian Nasional tinggal dua minggu lagi...”

Axel mengangguk. “Iya. Tapi Mama kena kanker stadium dua. Kami harus pindah ke luar negeri untuk pengobatan. Papa langsung urus semuanya.” Suaranya terdengar berat.

Aku menatapnya lekat-lekat. “Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin, Xel?”

Axel tertawa miris. “Gue juga bingung gimana bilangnya. Dan... gue nggak mau ninggalin lo dengan harapan, Sha.”

Aku menunduk. Dadaku sesak.

    “Gue... sayang lo Sha. Tapi kita nggak bisa pacaran. Gue nggak mau nyakitin lo dengan hubungan yang setengah-setengah. LDR itu berat.”

Aku merasa mataku panas. “Tapi kenapa baru bilang sekarang?”

    “Karena kalau gue bilang lebih awal, mungkin gue nggak akan bisa ninggalin lo. Dan gue nggak mau egois,” jawab Axel lirih.

Aku menggigit bibirku, menahan air mata yang mulai mendesak keluar.

Axel berdiri dan menyentuh bahuku sebentar. “Lo cewek yang kuat, Sha. Nggak semua orang bisa ngelewatin ini. Tapi lo bisa. Gue yakin.”

Aku hanya mengangguk, terlalu sakit untuk berkata-kata.

***

Sore itu, langit masih kelabu saat Rey datang menjemputku. Dia tahu dari Fio kalau mood-ku sedang buruk. 

    "Lo mau ke mana?" tanyaku pelan saat Rey tengah mengenakan helm. 

    “Gue mau ajak lo healing. Kita ke festival kuliner, terus naik bianglala. Deal?” ujarnya ceria sambil memakaikan helm satunya ke kepalaku. 

Aku tersenyum kecil. “Deal!”

Kami tiba di festival kuliner sekitar pukul tujuh malam. Suasana begitu ramai, dipenuhi dengan deretan stan makanan dan minuman yang menggoda selera. Rey terus menggandengku dari satu stan ke stan lain, mencicipi makanan unik dan minuman aneh yang membuat kami tertawa bersama. Sejenak, aku lupa dengan awan mendung yang menggantung di dalam kepalaku.  

Hingga akhirnya, kami naik bianglala. 

Di puncak ketinggian, saat hanya ada aku, dia, dan kelap kelip lampu kota di kejauhan, Rey menatapku dalam-dalam.

    “Sha... gue tahu lo lagi sedih. Dan lo nggak harus pura-pura bahagia di depan gue. Tapi ada satu hal yang pengen gue sampaikan ke lo,”

Aku menatapnya, diam, menanti kelanjutannya.

    “Gue suka lo, Sha. Dari dulu. Tapi gue nunggu. Karena gue tahu lo masih punya cerita yang belum selesai sama Axel.”

Deg.

    “Tapi gue nggak akan maksa. Gue cuma mau lo tahu. Karena hati gue nggak bisa terus diam. Kalau lo butuh waktu... gue bisa nunggu.”

Aku terdiam. Jantungku berdetak cepat, terlalu cepat. 

    “Rey... gue...” aku menarik napas panjang. “Gue belum bisa jawab sekarang. Kepala gue masih terlalu penuh. Tapi... makasih ya. Lo udah mau jujur."

Rey tersenyum. “Jawaban lo kapan aja, gue terima. Yang penting hari ini lo bisa senyum lagi.”

Dan saat itu, aku sadar—hatiku mulai goyah. Mungkin… perasaanku perlahan mulai berubah arah.

                                                        ***

Angin sore menerpa rambutku pelan. Aku dan Fio duduk berdampingan di balkon rumahnya, memandangi langit jingga. Udara dingin, tapi hatiku lebih dingin. Atau... lebih kosong?

    “Sha, dari tadi lo diem banget. Ada apa?” tanya Fio sambil menyeruput milk tea-nya.

Aku menarik napas panjang. Lalu menoleh pelan. “Axel bakal pindah minggu depan, Fi.”

Fio berhenti mengaduk gelasnya. "Pindah kemana?"

    “Pindah ke luar negeri. Mamanya sakit kanker. Dan... dia bilang kita nggak bisa bareng karena dia nggak mau gue nungguin dia.”

Fio diam. Hanya angin yang jadi suara latarnya. Tapi diamnya itu lebih dalam dari kata-kata.

    “Gue ngerasa... sakit, tapi juga lega, Fi. Mungkin ini caranya Tuhan bilang kalau gue harus lanjut,” ucapku pelan, nyaris seperti bisikan.

Fio menyentuh tanganku. “Dan lo udah tau mau lanjut ke siapa?”

Aku mengangguk. Lalu tersenyum—senyum yang rasanya baru muncul setelah sekian lama.

    “Rey.”

Fio mengerjap. “Rey?”

    “Dia... nembak gue kemarin, pas naik bianglala. Dia bilang dia udah suka gue dari lama, tapi nunggu karena dia tahu gue belum selesai dengan perasaan gue sendiri.”

    “Dan lo...?” Fio menyipitkan mata.

Aku menggigit bibirku, lalu menatap langit yang kini mulai keunguan.

    “Gue juga suka dia, Fi. Tapi waktu itu gue bilang belum bisa jawab. Sekarang… jawabannya udah jelas.”

Fio menyeringai. “Akhirnya, cewek beku ini cair juga ya. Rey pasti bakal seneng banget dengernya.”

Aku tertawa kecil. “Iya, tapi gue pengen ngomong langsung pas momen yang pas. Biar dia tahu, gue serius.”

Fio mengangguk setuju. “Gue dukung lo, Sha. Dari awal. Rey itu rumah yang lo cari sejak lama.”

***

SMA Tunas Sentosa - 12 Mei 2015 16:50 

Aku meletakkan pulpenku perlahan. Napasku tertahan sejenak, lalu terlepas berat—campuran antara lega, lelah, dan... sepi yang aneh. Mungkin ini rasanya selesai dari sesuatu yang lama menemani.

Saat aku keluar dari ruang ujian, sinar matahari sore menyambut wajahku. Dan di sana, tepat di depan tangga lorong, Rey berdiri dengan dua bungkus teh botol dingin di tangannya.

    “Untuk juara bertahan... di hatiku,” katanya santai, sambil menyodorkan satu bungkus teh botol padaku.

Aku mengangkat alis, menahan senyum yang nyaris pecah. 

    “Gombal banget sih, Rey..”

    “Gombal yang konsisten, itu namanya cinta,” balas Rey dengan kedipan iseng.

Aku hanya bisa menggeleng pelan, tapi hatiku hangat. Aku menerima teh botol itu, dan jari kami sempat bersentuhan sebentar. Detik itu, dadaku kembali berdebar.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kejauhan.

    “AKHIRNYA LULUS JUGAAA!!”

Fio berlari mendekat dengan gaya dramatis seperti habis syuting film remaja. Begitu sampai di hadapan kami, tanpa banyak bicara, ia langsung menarik kami berdua ke dalam pelukan.

***

Beberapa hari setelah pengumuman — Di warung bakso langganan

Langit mulai jingga, Fio duduk berdua bersama Rey di meja pojok warung bakso dekat rumah Fio. 

Rey menyeruput es jeruk sambil menatap Fio yang mendadak serius.

    “Kenapa sih ngajak nongkrong berdua doang? Tumben. Biasanya lo ngajak Nesha juga.”

Fio menghela napas panjang. “Justru itu, Rey. Gue emang mau ngomong soal Nesha.”

Rey langsung duduk tegak. “Nesha? Dia kenapa?”

    “Bukan... bukan yang lo pikir. Dia baik-baik aja. Tapi ada yang harus lo tahu.”

Fio menatap mata Rey dengan tajam, tapi hangat.

    “Nesha sayang sama lo, Rey. Dari dulu dia mungkin denial, tapi sekarang... dia udah yakin sama perasaannya.”

Rey membeku. Jemarinya berhenti menggenggam gelas.

    “Gue tahu lo udah nembak dia, dan dia sempat belum bisa jawab. Tapi setelah semua yang terjadi—Axel, UN, semua hal yang bikin dia ragu—sekarang dia udah siap.”

Rey masih diam. Tapi senyum tipis mulai muncul di sudut bibirnya.

    “Lo tahu?” kata Rey pelan.

    “Apa?”

    “Gue juga sayang sama dia. Dari lama. Tapi nggak pernah benar-benar tahu... apakah dia akan gue miliki nantinya..”

Fio menyengir puas. “Sekarang lo tahu. Dan please, Rey... jangan bikin dia nunggu terlalu lama.”

Rey mengangguk mantap. “Gue janji.”

***

Seminggu kemudian — Pengumuman SNBT

Pagi itu, layar laptop di meja belajarku menampilkan halaman pengumuman SNBT. Tangan ini gemetar saat memindahkan kursor ke tombol “Lihat Hasil”. Di kepalaku hanya ada doa—campur aduk antara gugup dan pasrah.

Klik.

Beberapa detik kemudian, muncul tulisan yang bikin aku terdiam.

    “Kanesha Rainata Salim. Selamat! Anda diterima di Program Studi Kedokteran Universitas Gadjah Mada.”

Aku menutup mulut, menahan jerit. Air mata langsung menetes tanpa aba-aba.

Tanganku langsung menghubungi dua nama di grup WhatsApp: Fio & Rey.

Tidak sampai lima menit, panggilan video masuk.

    “SHA!! GUE JUGA LOLOS!!” Fio langsung menjerit.

    “UNPAD! TEKNIK PANGAN, BAYBEHHH!!!”

Tak lama, Rey muncul dengan rambut acak-acakan dan senyum selebar jalan tol.

     “Eh ada apa sih?"

   "REY, LO UDAH BUKA HASIL SNBT BELOM?" tanya Fio dengan penuh semangat. 

    "SNBT? Wait for a minute..." balas Rey dengan nada santai. 

    "Cepetan Rey lihat hasilnya!" balasku dengan mata terbelalak penuh antusias.

"Reyhan Abadi Santoso. Selamat anda di terima....UI, TEKNIK MESIN, GENGS!!” katanya bangga.

"WAAAHHH! CONGRATS GUYSSSS!" teriak Fio dari balik layar, suaranya melengking sampai membuat kami spontan menutup telinga sambil tertawa. 

Kami bertiga tertawa sekaligus menangis bahagia. Peluk-pelukan virtual yang terasa lebih hangat dari balik selimut. Rasanya dunia menjawab semua usaha kami selama ini.

***

Prom night – Aula SMA Tunas Sentosa, 20 Juni 2015

Lampu gantung tampak berkilauan. Gaun, jas dan musik jazz lembut mengisi ruangan aula yang malam ini terasa seperti dunia lain. Para siswa berdansa, bercanda, berfoto, seolah ingin membekukan momen terakhir mereka di sekolah dalam memori.

Aku berdiri di dekat meja hidangan, mengenakan gaun navy sederhana dengan detail renda di lengan. Bukan yang paling mewah, tapi cukup membuatku tampil cantik malam ini.

    "Sha."

Suara itu. Aku menoleh. Rey berdiri di sana dengan setelan jas hitam dan rambut yang sedikit berantakan seperti biasa—tapi entah kenapa... malam ini dia terlihat lebih tampan dari sekadar Rey pada biasanya. 

    “Boleh gue ajak lo dansa?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.

Aku tersenyum kecil. “Tentu.”

Tangannya menggenggam tanganku. Begitu hangat. Musik lembut mengalun mengiringi langkah kami. Kami melangkah pelan di tengah keramaian yang seolah menghilang, menyisakan hanya aku dan Rey di tengah aula.

    “Sha...” bisik Rey di sela tarian.

Aku mendongak menatapnya.

    “Lo inget nggak waktu gue nembak lo di bianglala?”

Aku mengangguk pelan.

    “Gue cuma mau pastiin... jawaban lo masih sama?”

Aku terdiam. Hatiku berdetak cepat. Tapi entah kenapa, lidahku kelu. Banyak yang ingin aku ucapkan, tapi semua tertahan.

Melihatku bungkam, Rey menghela napas dan tersenyum kaku. “Gapapa. Gue ngerti. Mungkin emang belum waktunya—”

    “Rey... maaf...” potongku pelan.

Tanpa pikir panjang, aku melepaskan genggamannya. Jantung berdetak cepat di dalam dada. Aku butuh ruang. Aku butuh napas.

Aku berlari keluar dari aula, melewati deretan lampu hias dan hiasan bintang-bintang dari kertas emas. Malam itu seharusnya indah, tapi kenapa dada ini malah sesak?

Dan seperti ikut berkonspirasi, hujan turun perlahan. Langkahku terhenti di pelataran parkir. Nafasku berat. Kepalaku penuh. Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh...

    “Sha!”

Suara Rey. Langkah cepat. Nafas tergesa.

Aku menoleh. Di tengah guyuran hujan, Rey berlari menghampiriku. Rambutnya basah, jasnya lembab, tapi tatapan matanya tetap sama—penuh makna.

    “Gue nggak mau lo kabur kayak gini. Tapi kalau lo emang beneran nggak bisa... gue nggak akan maksa.”

Aku terpaku. Air hujan bercampur dengan air mata mengalir di pipiku.

    “Gue takut, Rey...” bisikku. “Takut kalau kita gagal nantinya. Takut kehilangan lo...”

Rey mendekat, menyentuh bahuku lembut.

    “Nesha... gue juga takut. Tapi gue lebih takut kehilangan kesempatan untuk sayangin lo seumur hidup gue.”

Deg. Kalimat itu. Langsung menembus pertahanan yang selama ini ku jaga.

    "Gue... gue sayang lo, Rey,” ucapku akhirnya, suara gemetar.

Rey menatapku. Dan saat itulah, semua yang tertahan meledak jadi pelukan. Di tengah hujan malam prom, kami saling merengkuh—tak peduli basah, tak peduli dingin. Dunia terasa berhenti sejenak. Dan perasaan yang akhirnya saling menemukan.

    “Jadi... ini artinya lo pacar gue sekarang?” bisik Rey di dekat telingaku.

Aku tertawa kecil. “Iya. Tapi jangan panggil gue 'sayang' di sekolah ya. Gue jijik dengernya.”

Rey tertawa. “Deal. Tapi kalau di rumah, boleh dong?”

Aku menyikut pinggang Rey, lalu menggenggam tangannya lebih erat.

Dan di bawah hujan yang jadi saksi, kami tahu: malam ini bukan hanya akhir dari masa sekolah. Tapi awal dari cerita baru. Aku dan Rey.

TAMAT 

1. Kenapa bisa gitu si aden? Kalau bawa motor tuh hati-hati 
2. Baiklah, mandi dulu 

Comments

Popular posts from this blog

Aku tak membenci Hujan.

Hujan mengingatkanku akan sebuah kenangan. Karena saat hujan turun,  ia senantiasa memberikan kenangan baru dalam memoriku. Kenangan antara aku dan seseorang yang kucintai. Terkadang hujan datang tak kenal waktu, Namun ia mengerti dan paham kapan waktunya mereda. Bahkan, Seringkali hujan sengaja menjebak kita di tempat yang sama. dan dengan pertanyaan yang sama, "Kapan hujan ini reda?" Dan aku selalu menikmati kehadirannya. Bagiku, hujan memiliki kekuatan tersendiri, untuk menghadirkan kebahagiaan di setiap insan manusia. Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Sebab selalu ada senyuman yang kulihat setelah hujan reda. Senyumanmu,  gelak tawamu,  bahkan candaan yang senantiasa menghibur hati. Kau tahu mengapa aku tak menbenci hujan? Sebab selalu ada genggaman hangat di jemariku dan seolah ikut berkata,"Tenanglah, Aku ada disini." Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Karena hujan pandai menyamarkan kesedihan di wajahku. Ia tak pernah t...

Walk Away - Dilaika Septy

Judul                :  Walk Away Penulis             :  Dilaika Septy Penerbit           :  Bentang Belia ( PT. Bentang Pustaka ) Terbit               :  November 2012 ISBN               :  978-602-9397-57-4 Tempat Terbit  :  Yogyakarta Tebal Buku      : VIII + 204 hlm ; 19cm Harga              :  Rp 27.000,00 Watching you walk away, i think it's time to say goodbye, my dear...     Bagaimana perasaanmu saat seorang temanmu sama sekali nggak pernah ada dalam mood yang baik bersamamu? Selalu saja timbul amarah diantara kalian berdua, seolah-o...

Lukisan Hujan - Sitta Karina

Resensi Novel   Judul Novel                  :  Lukisan Hujan   Pengarang                  :  Sitta Karina   Penerbit                      :   Terrant Books Tahun                         : 2004   Genre                        :   Novel Remaja(Romance) Tebal buku                  :   386 halaman  ISBN                        :  979-3750-00-6 ·          Sinopsis Novel...