Negara Agraris Yang Belum Merdeka
Oleh : Monica Puspita
Indonesia adalah negara yang kaya. Indonesia terdiri dari berbagai
macam suku dan budaya dengan memiliki ragam bahasa dan kekayaan alam yang
sangat melimpah. Potensinya sungguh luar biasa, baik sumber daya alam hayati
maupun non-hayati. Bahkan, Indonesia pernah disebut sebagai negara terkaya di
planet bumi karena memiliki kekayaan alam yang melimpah dan memiliki potensi
untuk memajukan bangsa. Sejak dulu, Indonesia telah dikenal sebagai penghasil
rempah-rempah hingga mampu memikat orang-orang dari bangsa Eropa untuk datang menelusuri
jalur perdagangan Indonesia. Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini?
Di usianya yang ke-69 tahun, Indonesia
telah memperoleh kebebasan dari para penjajah sekaligus menerima gelar ‘Merdeka’. Kemerdekaan yang kita rasakan hingga saat ini
tak luput dari perjuangan para pahlawan bangsa. Mereka telah bertempur melawan
penjajah demi merebut kemerdekaan dan menciptakan kenyamanan bagi generasi
penerusnya. Namun, nyatanya bangsa kita belum merdeka
sepenuhnya. Indonesia masih harus menghadapi masalah pelik, salah satunya adalah
krisis pangan yang belum teratasi dengan baik. Krisis pangan masih menjadi
masalah global yang dialami oleh berbagai negara termasuk Indonesia.
Penyebab utama terjadinya krisis pangan disebabkan oleh beberapa
faktor,antara lain: waktu penanaman yang berlangsung cukup lama, biaya usaha
tani yang belum maksimal, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, adanya
alih fungsi lahan pertanian, serta faktor-faktor lainnya yang tidak mendukung
peningkatan pangan di Indonesia. Krisis pangan yang terjadi di Indonesia dapat
ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu dari segi ekonomi-politik dan segi
kesehatan.
Pertama, menurut pandangan ekonomi-politik, Indonesia tergolong
sebagai negara pengimpor terbesar di
Indonesia. Hal ini dibuktikan, saat ini Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di
dunia, setelah Nigeria peringkat ke-1, Irak peringkat ke-2, Filipina peringkat
ke-3, dan Malaysia peringkat ke-9 yang mengimpor bahan makanan pokok dari
negara lain, salah satunya beras.
Menurut data Lembaga PBB tahun 2008, kenaikan harga minyak yang menembus US$ 100 per
barel pada akhir 2007, menyebabkan harga pangan dunia meroket hingga rata-rata
40%. Lonjakan harga ini terjadi pada komoditas bahan pokok seperti beras,
jagung, dan kedelai. Harga jagung bahkan mencapai rekor tertinggi dalam 11
tahun terakhir. Begitu juga dengan harga
kedelai, yang mencetak rekor puncak dalam 35 tahun terakhir.WFP (World Food
Programme) pada tahun 2008 mengungkapan
bahwa stok beras dunia mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga beras
ke level tertinggi selama 20 tahun terakhir. Menurut prediksi FAO,
36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan,
termasuk Indonesia.
Masalah
tersebut berlanjut hingga saat ini. Jika ditinjau dari Badan Pusat Statistik, Indonesia
mengalami impor terbesar pada tahun 2014. Dari
total 472 ribu ton beras senilai US$ 246 juta yang diimpor, Vietnam mendominasi
dengan pengiriman sebanyak 171.286 ton atau senilai US$ 97,3 juta. Selain
Vietnam, Thailand berada di urutan kedua yang mengeskpor 194.633 ton beras
senilai US$ 61,7 juta disusul dengan India yang berada di urutan ketiga yang
mengekspor 107.538 ton beras senilai US$ 44,9 juta ke Indonesia. Yang paling
mengejutkan, Indonesia juga mengimpor beras dari negara yang tergolong miskin
seperti pakistan dan myanmar. Pakistan menempati urutan keempat yang mengekspor 75.813 ton beras senilai
US$ 29,9 juta. Terakhir, Myanmar yang mengekspor 18.450 ton beras senilai US$
6,5 juta.
Kedua, menurut pandangan kesehatan, krisis pangan dialami
oleh warga Indonesia menengah kebawah
yang sampai saat ini hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Kasus-kasus
kelaparan yang melanda Indonesia selalu bertambah setiap tahunnya. Faktanya,
kasus kelaparan terjadi di tanah Papua sekitar bulan April lalu. Kasus
kelaparan di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat menyebabkan sekitar
95 warga Papua, yang sebagian besar adalah anak-anak meninggal dunia akibat
busung lapar dan wabah penyakit. Ironisnya, Pemerintah tidak menanggapi secara
serius masalah global yang mengancam warga Papua. Hal ini disesalkan karena
mereka sebagai pemimpin malah tidak memiliki rasa empati ataupun respon
positif, melainkan merespon dengan bantahan yang terkesan menyalahkan alam.
Ingatkah kalian dengan penggalan, “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman...”
Lirik lagu kolam susu tersebut diciptakan berdasarkan fakta, bahwa Indonesia
sebenarnya merupakan negara yang kaya dan subur. Indonesia
diperkirakan memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 75 sumber lemak, 26 kacang,
389 buah-buahan, 228 sayuran, dan 110 tanaman rempah.
Ironis,
jika Indonesia yang dikenal sebagai
negara agraris, dinilai gagal untuk mempersiapkan cadangan pangan untuk
rakyatnya. Kini, Indonesia menempati
posisi ke-4 pengimpor terbesar di dunia. Berdasarkan data yang
dipaparkan sebelumnya, rata-rata pengeluaran Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
beras berkisar US$ 61,7 juta, atau sekitar Rp 558,9 miliar pertahunnya. Bisa
dibayangkan, bahwa setiap tahunnya negara harus mengeluarkan setengah triliun
untuk memenuhi kebutuhan pangan. Padahal, jika dibandingkan negara Vietnam dan
Thailand, Indonesia yang hanya memiliki luas lahan pertanian 458 meter
persegi/kapita mampu menghasilkan 5,01 ton padi per hektar dibandingkan negara
Thailand yang memiliki
5.000 meter persegi/kapita, dan Vietnam 1.200 meter persegi/kapita. Keduanya
hanya mampu menghasilkan 3,7 ton per hektar dan 4,5 ton per hektar. Seharusnya,
dengan jumlah lahan yang dimiliki,sudah lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan rakyat Indonesia. Sungguh memilukan hati jika kita
mendengar rakyat kita mati kelaparan di lumbung padi. Apakah kita sebagai
warganya hanya berdiam diri saja?
Di
usia yang semakin bertambah, negara kita perlu berbenah diri. Maraknya degradasi
lahan pertanian dan perubahan iklim membuat negara kita perlu melanjutkan
program pertanian demi ketahanan pangan di Indonesia. Indonesia juga perlu
kedaulatan pangan yang mampu memberikan hak kepada setiap negara untuk mengatur
dan memproyeksi tata pertanian di tiap negara.
Apalagi, diperkirakan pada tahun 2015
mendatang, Indonesia harus menghadapi pasar bebas, dimana produk-produk dari
negara lain di ASEAN akan memasuki pasar Indonesia sampai ke pelosok negeri.
Indonesia harus menghadapi fakta dan kenyataan bahwa Indonesia telah jauh
tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN. Hanya tindakan nyata yang
dibutuhkan negara kita untuk membawa perubahan dan perbaikan, bukan hanya
ucapan saja.
Sebagai generasi muda, sekaligus sebagai
generasi penerus bangsa sudah sepatutnya kita yang memulai pembenahan diri.
Kita harus merasa peduli dan peka terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Secara
politik, negara kita memang sudah dinyatakan merdeka. Kenyataan berbalik arah ketika negara kita
masih terjajah dari segi ekonomi. Negara kita masih sulit terlepas dari
bayang-bayang negara lain. Indonesia masih mengalami ketergantungan dan
terbelakang dibanding negara lain seperti Amerika Latin yang
pernah dijajah, namun kini bisa kembali bangkit, maju, dan bersaing dengan
negara yang pernah menjajahnya.
Orang-orang di dunia saat ini kebanyakan memilih
pekerjaan yang berhubungan dengan bisnis demi merauk keuntungan. Namun,
pernakah terpikir di benak anda untuk memilih pekerjaan dalam bidang Pangan? Bidang Pangan sangatlah universal. Seluruh manusia
di belahan bumi manapun pasti membutuhkan makanan. Jika kondisi pangan saat ini
saja tidak tercukupi, bagaimana nasib anak cucu kita di masa depan? Apakah
semua hasil alam mau kita habiskan sendiri tanpa memikirkan generasi kita berikutnya? Pemerintah
harus memproteksi petani dari gempuran pasar bebas
serta memberdayakan petani
kecil
di pedesaan. Dalam menghadapi krisis pangan, Indonesia perlu
meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian pangan, dengan mengandalkan
perluasan pertanian skala besar dan melibatkan industri pertanian, seperti
perusahaan agrobisnis.
Saat ini negara kita sangat membutuhkan pengusaha pangan. Sebagai generasi
muda,
banyak dari kita yang sulit
membedakan antara produk dalam negeri dan produk luar negeri. Terkadang, kita
merasa enggan menggunakan produk Indonesia karena kualitasnya yang kurang baik.
Ternyata, kualitas produk yang dihasilkan di Indonesia setara dengan produk
luar. Karena selain meningkatkan produktivitas dalam negeri, kita sebagai
konsumen yang baik dapat memperkenalkan dan mendorong masyarakat untuk
mencintai produk Indonesia.
Sebagai
pelajar, hal nyata yang mampu dilakukan untuk mengisi kemerdekaan salah satunya
dengan belajar. Belajarlah dengan sungguh-sungguh dan raihlah prestasi yang
mampu mengharumkan nama baik bangsa.
Belajar tidaklah harus dalam bentuk yang formal, tapi juga dalam bentuk informal. Tidak ada salahnya bagi kita untuk melirik dan menekuni bidang
pangan agar pangan di Indonesia dapat berkembang lebih baik.
Di negara kita
banyak orang pintar, namun sedikit orang yang berpikir benar. Kalau bukan sejak
dini kita melakukan perubahan, kapan lagi Indonesia akan mengalami kemajuan?
Comments
Post a Comment