Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2019

Wedang Jahe Buatan Emak.

pixabay/TerriC S enyuman itu kembali membawa kehangatan di kedua pipiku. Aku merasakan ketulusan dari sorotan matanya yang mulai rabun. Tangannya terasa dingin saat menyentuh lenganku. Terlihat  guratan tipis di sudut mata dan bibir tipisnya. Garis garis keriput pun semakin terlihat nyata di wajah Emak.          “Mau kubuatkan wedang jahe, Mak?” tanyaku lembut Emak hanya menggeleng pelan. Ia memberi tanda, katanya “Jangan, nanti merepotkan.” Aku membalasnya dengan senyum, sambil mengurut kaki dan tangan Emak.         Sejak dua tahun yang lalu, emak terserang stroke ringan, hingga membuat sebagian tubuhnya menjadi lumpuh. Dulunya, emak sempat membuka usaha  menjahit kebaya. Sejak bapak meninggal belasan tahun yang lalu, emak yang menggantikan bapak untuk mencari uang untuk menyekolahkanku. Emak banting tulang siang dan malam hingga aku bisa melanjutkan studiku di luar negeri.            Hingga suatu hari, penyakit itu menyerang emak. Karena bertepatan dengan ha

Menjadi Seorang Penulis.

Pernah terbayang olehku ketika seseorang bertanya kepadaku apa cita-citaku lima tahun kedepan. Ku ingin menjawab, "Menjadi seorang penulis." Mungkin akan terdengar asing untuk sebagian orang, karena mengetahui latar belakang pendidikanku adalah teknik. Mungkin sebagian orang menganggap, seorang lulusan teknik sudah seharusnya memikirkan masa depannya dan hanya terfokus pada bidang teknik. Bagiku, itu terlalu omong kosong. Seorang lulusan teknik bisa menjadi seorang akuntan, seorang peneliti, seorang manager, seorang pengusaha, bahkan seorang penulis. Karena bagiku, menulis merupakan caraku mengenali dan menikmati hidup. Tidak sedikit orang yang berpikir, "Jadi penulis itu susah-susah gampang". Ya, benar sekali. Menjadi penulis yang profesional perlu pandai dalam berstrategi dan tentunya harus memiliki mental yang kuat. Menjadi seorang penulis juga perlu konsisten dalam menghasilkan karya dan bukan sebatas mengandalkan mood . Seorang penulis sudah menanamkan tekad

Catharina.

pixabay/free-photos R asanya seperti ingin mati. Bergelut dengan gumulan-gumulan di hati. Benar-benar menyakitkan. Memisahkan diri dari sosok yang aku cintai sejak lama. Demi kebaikan antara aku dan dirinya.  Sungguh menyakitkan jika aku harus kembali ke masa itu. Saat ini, dia hadir kembali. Membawa segala kenangan lama yang pernah kami lalui.   Kenangan lama sebelum penyakit mematikan ini menggerogoti tubuhku.           “Maaf, perkenalkan saya Dokter Anwar, yang menggantikan Dokter Bram yang sedang cuti ke luar kota.   Saya ingin memeriksa kondisi anda.“               Suara itu kembali ku dengar. Masih sama, menyejukkan namun terdengar lebih gagah. Ya, suara yang telah menghilang dari rongga telingaku sejak belasan tahun lamanya. Dulu, ia hanya bocah ingusan yang telah mencuri sebagian waktu kehidupanku. Ia yang mampu memikat hatiku. Terlihat berbeda, kini ada yang bertengker di kedua matanya, dengan penampilan rambut belah samping yang dipangkas pendek dan rapi.   Terlihat

Kado Terindah Kei

pixabay/blickpixel S ejak tadi, aku hanya mengaduk-ngaduk secangkir teh manis di depanku sambil memandangi langit di luar sana. Sore ini, langit terlihat mendung. Langit terlihat gelap diselimuti awan tebal yang hitam pekat. Pertanda bahwa hujan segera turun kembali.            “Kei..” Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Agatha Keinata  atau akrab dengan panggilan Kei. Nama yang unik pemberian Mama, dan aku menyukainya.          “Sedang mikirin apa? Kok melamun?”  Aku mengangkat sedikit wajahku , lalu menggeleng sambil tersenyum  menatap wanita di sampingku.  Suara itu berasal dari  Malaikat Pelindungku, Mama.          “Nggak kok Ma, Kei nggak apa-apa,” balasku sambil tersenyum.          “Ya sudah, setelah ini kamu ke bawah ya. Papa sudah menunggu di meja makan,” kata Mama lalu keluar dari kamarku. Aku menutup buku fisika di hadapanku. Aku segera menuju ruang makan. Di meja makan, kami melipat tangan berdoa, kemudian menikmati makan malam yang telah disediakan