pixabay/free-photos |
Rasanya seperti ingin mati. Bergelut dengan gumulan-gumulan
di hati. Benar-benar menyakitkan. Memisahkan diri dari sosok yang aku cintai sejak
lama. Demi kebaikan antara aku dan dirinya. Sungguh menyakitkan jika aku harus
kembali ke masa itu. Saat ini, dia hadir kembali. Membawa segala kenangan lama
yang pernah kami lalui. Kenangan lama sebelum
penyakit mematikan ini menggerogoti tubuhku.
“Maaf, perkenalkan saya Dokter
Anwar, yang menggantikan Dokter Bram yang sedang cuti ke luar kota. Saya ingin memeriksa kondisi anda.“
Suara itu kembali ku dengar. Masih sama,
menyejukkan namun terdengar lebih gagah. Ya, suara yang telah menghilang dari
rongga telingaku sejak belasan tahun lamanya. Dulu, ia hanya bocah ingusan yang
telah mencuri sebagian waktu kehidupanku. Ia yang mampu memikat hatiku. Terlihat
berbeda, kini ada yang bertengker di kedua matanya, dengan penampilan rambut
belah samping yang dipangkas pendek dan rapi. Terlihat begitu tampan menggunakan setelan jas
putih dan stetoskop yang melingkari lehernya.
Kemudian ia meletakkan stetoskop di dada
sebelah kiriku. Ia terlihat menganggukkan kepala. Kemudian ia menyuruhku
membuka mulut dan mengarahkan senternya ke rongga mulut dan terakhir
pemeriksaan mata. Setelah selesai memeriksa, aku turun dari ranjang dan menuju
meja konsultasi.
“Semua normal. Bagus. Apakah obatnya
rutin di minum Bu..” Ia membetulkan letak kacamata sambil mengecek namaku di
kartu pasien, “Catharina.” Tidak
terlihat ada yang janggal setelah menyebut namaku.
“Iya Dok. Obatnya selalu saya minum.
Pagi dan sore. Apakah saya masih perlu rawat inap?” Aku harap tidak. Aku tak ingin berlama-lama melihat wajahnya.
“Apakah anda masih sering mengalami
sesak nafas?”
“Kadang-kadang, Dok. Sehabis kerja
terlalu berat, dada saya terasa nyeri
jika menarik napas dan terkadang batuk saya masih mengeluarkan sedikit darah.”
“Hmm, baiklah. Saya akan beri obat
anti nyeri yang dosisnya lebih tinggi. Harus rutin ya dimimumnya. Pagi dan sore
setelah makan, masing-masing satu kapsul. Disertai olahraga ringan yang
teratur. Jika masih sesak, minggu depan anda harus kembali mengontrol.“
“Baik dok,
terima kasih,” Aku bergegas keluar dari ruangan serba putih itu.
Saat sampai di
pintu,
“Semoga lekas
sembuh, Cathy.”
Aku bergegas
keluar tanpa membalas ucapannya. Sungguh mengejutkan. Ia masih mengingat nama
kecilku. Ya, ialah Anwar Saputra. Ia tidak melupakanku. Namun, mengapa
seolah-olah ia tidak mengenalku?
Dadaku terasa sesak kembali. Tubuhku
lemas. Tanpa ku perintah, air mataku mengalir deras dari kedua mataku. Aku tak
dapat membendungnya lagi. Aku telah mengalami beberapa kali dalam hidupku.
Melupakan orang yang telah lama mengisi hariku, dalam satu detik. Aku pernah
melakukannya. Namun rasanya tidak sesakit ini. Bahkan tidak sebanding dengan
rasa sakit yang ku derita.
Bahkan dengan orang yang satu ini,
aku hampir dibuatnya gila. Ketika amarahnya yang dulu membabi buta menjelma
menjadi diam. Diam dan pergi meninggalkanku.
Ketika aku
berusaha mengontrol emosiku dalam sebulan dan melepaskan ribuan pengampunan
untuknya. Aku hampir berhasil. Segala rinduku telah mencengkram tubuh hingga
membuatku menjadi kaku. Aku benar-benar tidak dapat mengendalikannya lagi.
Segala rindu telah berbisik kepadaku untuk kembali.
Pulmonis
Cancer atau disebut Kanker Paru-Paru merupakan penyebab utama dari kematian
akibat kanker..
Tidak. Aku tidak boleh melakukannya. Kalimat
itu seolah-olah sudah tertanam di pikiranku. Di dalam tubuhku, kini sudah
tersebar sel-sel kanker yang mematikan dan aku akan segera mati. Ya, mati dan
meninggalkan dirinya.
“Aku merindukanmu, Anwar."
Hanya kalimat itu yang mampu terlontar dari
bibirku. Tanpa aku bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba saja, hantaman itu kembali membuatku tergelincir. Sakit. Sungguh sakit. Hantaman itu datang dan berkata, "Sakit?" "Ya. Sangat sakit."
“Sesakit itu jika kamu masih bertahan untuknya.”
Benarkah? Aku benar-benar tidak dapat mengendalikan diri. Hantaman itu membuat kepalaku semakin sakit. Pusaran itu kembali menghantuiku.
"Tinggalkan dia yang tidak dapat membuatmu bahagia," katanya lagi.
“Kamu benar.” Aku mengatakannya dalam hati.
Seharusnya aku berterima kasih pada diriku. Dan mendengarkan ucapannya.
Lalu, apa yang harus kulakukan saat ini? Mengikuti kata hati?
Sudah tercemar rasanya. Aku benar-benar tidak dapat menyelidiki kata hatiku yang sesungguhnya.
Sudah terlampau jauh aku berusaha melepaskannya. Dan aku hampir berhasil mencapainya. Namun bayangan dia tetap menghambatku. Menghambat segala langkahku. Kadang kala, ia menarikku kembali melalui mimpi.
Bunga tidur yang membuatku semakin tidak waras.
"Pergi.”
Rasanya aku sudah salah jalan. Terlalu jauh dan sulit untuk kembali pada jalan hidupku yang lama.
Rasanya aku sudah salah jalan. Terlalu jauh dan sulit untuk kembali pada jalan hidupku yang lama.
Lama sebelum mengenal dia.
Lama sebelum aku melihat dia.
Lama sebelum aku mencintai dia.
Rasanya aku ingin kembali,
Ke masa kecilku yang lebih indah.
Namun kini waktuku di dunia tinggal sebentar.
Lantas, kemana aku harus melangkah?
***
Comments
Post a Comment