pixabay/kalhh |
Aku
memeluk tubuhku dengan erat. Aku menggigit bibirku keras-keras dan menahan
napas. Perlahan, sesak terasa hingga ke sela-sela jantungku. Debar jantung
terasa begitu kencang. Aku benar-benar merasa takut. Ketakutan ini menerobos
sukmaku, bahkan memaksaku untuk segera pergi mencarinya.
“Oke
guys, latihan dance hari ini cukup sampai disini. Latihan
berikutnya akan dilaksanakan pada tanggal dua puluh-an, kalian bisa kan? Nanti
bagi akt—“
Kalimat
itu tidak terdengar lagi di telingaku, karena aku telah berlari meninggalkan ruangan
‘mematikan’ itu.
***
Aku
menelusuri lorong kelas yang sunyi. Tidak seorang pun terlihat melintas siang
ini. Perlahan, aku melangkah menuju ruang kelas yang ada. Membuka tiap
pintu dengan penuh hati-hati, berharap aku dapat bertemu dengannya.
Ceklek!
Aku
menyembulkan kepalaku, tidak ada orang di dalam. Aku kembali menutup pintu.
“Sha?
Ngapain?” Terdengar seseorang menyapaku dan kini telah berada di sampingku.
Ternyata dirinya Ronald.
“E-Eh,
Ron. Lihat Axel nggak?” tanyaku penasaran.
Ronald
tampak mengernyitkan dahi. “Axel? Lah, bukannya dia dibawah? Di ruang kepsek,”
Kepsek?
“Di
bawah? Oke, Makasih Ron!”
***
Aku
berlari menuju lantai dasar, berharap Axel masih berada disana. Aku menelusuri
lorong menuju ruang guru dan ruang kepala sekolah yang tepat
bersampingan. Aku mencari dirinya, dan.... Ya! Aku menemukanmu Axel! Aku
melihat dirimu dari belakang. Aku ingin menghampirimu, tetapi aku takut. Aku
mundur perlahan, dan merapatkan tubuhku dari balik tembok. Aku mengintip
perlahan, ternyata dirimu sedang berjalan mondar- mandir. Sepertinya, kamu
sedang menunggu sesuatu.
Aku
menghela nafas panjang. Aku mengurungkan seluruh rasa takut ini dan
memberanikan diri untuk menghampirimu. Sayangnya, kamu telah lebih dulu
berjalan masuk ke arah ruangan guru. Karena diburu rasa penasaran, aku
segera membuntutinya dari belakang. Miris. Aku tidak menemukannya,
melainkan mendapatkan Johan sedang berdiri mematung, sambil menyandarkan tubuhnya
ke tembok ruang guru.
“Jo,
lihat Axel nggak?” Orang yang kupanggil menoleh ke arahku. “Eh, hai
Sha. Hm, udah masuk tuh,” Johan menunjuk ke suatu ruangan.
Aku
mengarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk. Aku menatap lekat-lekat pintu
kayu yang terukir jelas ’RUANG KEPALA SEKOLAH’. Ada masalah apa hingga dirinya
harus masuk ruangan ‘eksekusi’ ini?
“Ng..
udah lama, Jo?”
“Baru
aja masuk, Sha,” balasnya santai.
“Emang
ada masalah apa sih?” tanyaku penasaran.
“Entah,
kayaknya masalah nilai,” Raut wajahnya kembali murung.
“Nilai?
Loh, emang nilai lo dan dia kenapa?” sentakku kaget. Tidak percaya, sampai hari
ini masih saja membicarakan nilai. Padahal, hari kelulusan sebentar lagi tiba.
“Hm,
nilai gue ada yang belom tuntas kayaknya. Kalau Axel gue nggak tau, Sha.”
“Ooo,
yaampun sabar deh, Jo. Gue duluan ya,” lanjutku.
Johan
mengangguk, lalu kembali memandang kosong ke arah tembok di hadapannya.
***
Hampa.
Aku berjalan gontai menelusuri lorong yang terlihat semakin sepi. Dan lagi-lagi
sekitarku terasa gelap. Mendadak kepalaku terasa berat. Wajah Axel
selalu saja menari-nari di pikiranku. Mengapa dirimu semakin menjauh? Apa
yang sebenarnya terjadi?
Samar-samar,
terlihat bangku kayu kosong di depanku. Aku melangkah menuju bangku lalu
menghempaskan tubuhku di bangku tersebut. Pandanganku beralih kepada
anak-anak yang tengah bermain basket. Di samping lapangan, terdapat
anak-anak yang lalu lalang berjalan dari arah kantin. Sebagian, ada yang
menonton pertandingan basket. Dan sebagian ada yang menuju kelas.
Aku
kembali memejamkan mata. Aku benar-benar merasa sendirian detik ini.
Pikiranku berkecamuk. Jiwaku bergema. Keduanya saling beradu,
melengkingkan namamu. Axel.
Aku
telah berusaha membuktikannya. Sebuah kalimat yang dulu pernah terlontar
dari bibirmu, “Aku harap kamu nggak
seperti yang lain, Sha. Aku ingin kamu nggak berubah seperti yang lain.”
Yah,
hari ini aku telah membuktikannya. Entah kamu percaya atau tidak. Aku
menunggumu. Bahkan mencarimu.
Tetapi, mengapa dirimu perlahan menjauhi diriku?
PLETAK!
Lamunan
singkatku buyar ketika aku merasakan seseorang menjitak kepalaku cukup keras.
Sampai-sampai, aku terlonjak kaget dari tempatku. Mataku masih
terbelalak sangking kagetnya.
“Heh!
Ngapain sih, lo ngelamun siang bolong begini? Kesambet tuyul baru tau rasa lo!”
Ternyata
orang itu Rey. Dia masih mengenakan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu
futsalnya. Ia juga menyelempangkan tas olahraga berwarna abu-abu, bertuliskan
‘ADIDAS’ di pundaknya.
“Issh,
Rey! Apaan sih? Ngagetin gue aja! Lagi bete tauk!” gerutuku kesal.
“Aduh
cewek manis kayak elo, nggak cocok bete-betean. Ntar muka lu pahit kayak obat
puyer? Mau?”
“Sialan!
Ya kali, muka gue disamain kayak obat puyer!” “Eh bentar, kok pahit?
Bukannya biasanya ‘asem’?” tanyaku penasaran.
“Karena
‘asem’ udah terlalu mainstream, Sist..”
Rey tertawa garing. Aku mingkem.
“Hehehhehehe...
lagian muka lo cemberut begini. Kenapa lagi, sayang? Sini cerita sama A-a Rey!”
goda Rey sambil senyam-senyum memandangku.
“Sayang? Pret!!” aku menjulurkan
lidahku ke arah Rey.
“Hehehee... napa sih temen gue
yang cantik ini?”
Aku masih terdiam tidak peduli.
“Elo lagi mikirin Axel ya?”
tanyanya cuek.
Mataku melotot. Aku tidak
menyangka Rey dapat menebak isi hatiku saat ini.
Rey, kenapa nada lo berubah jadi dingin
seperti ini?
“Hm—
iya.” Aku mengakuinya. Mengakui seluruh perasaan yang telah lama kupendam. Aku
tidak bisa menahan lagi semua ketakutanku, kekesalanku, bahkan rasa sayangku
yang terlalu mendalam ke Axel. Yah, Axel. Yang kian hari kian membebani
pikiranku.
“Trus
kenapa elo duduk disini? Lo nggak nemuin dia?” tanyanya lagi. Kini nada
bicaranya mulai melunak. Tidak sedingin tadi.
“Tadi
gue ngeliat dia masuk ke ruang kepsek. Gue takut, Rey. Gue takut jika
terjadi apa-apa sama dia. Elo tau sendiri, siapapun yang masuk ke ‘ruang
eksekusi’ itu, berarti punya masalah penting yang berhubungan sama sekolah,”
“Nggak lah, Sha. Gue yakin
dia nggak kenapa-napa. Palingan lagi
konsultasi,”
Aku menaikan alis. “Konsultasi?
Konsultasi apa?”
“Konsultasi cinta, hehehe..”
Rey malah cengengesan.
“Sialan! Gue lagi serius
juga!” Aku cemberut.
“Yee,
jangan marah dong! Hm, ya udah kalau memang lo mau ketemu dia, lo tungguin dia
aja. Bentar lagi juga dia keluar,” balas Rey santai.
“Hhh— nunggu?” Aku
menggeleng sekali. “Gue capek nunggu dia, Rey.”
“Loh, kenapa? Bukannya
lo selalu setia nungguin dia?” Rey memandangku dengan tatapan heran.
Aku menarik nafasku
dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan.
“ Gue merasa terjebak sama
kondisi kayak gini. Belakangan ini, dia sering menjauh dari gue. Kalau lihat
gue, dia langsung pergi. Seolah, gue virus mematikan buat dirinya. Oke, kalau
dia marah ke gue. Tapi karena apa? Alasannya nggak pernah jelas. Haruskah gue
menunggu jawaban itu? Jawaban yang nggak pasti. Bahkan, gue nggak tau kapan dia
mengakui ini semua. Sampai kapan Rey, gue harus nunggu dia? Sampai kapan?”
ujarku setengah menjerit.
Mataku berair. Bendungan
air mata tidak tertahan lagi dimataku. Aku menangis di pundak Rey. Ia merengkuh
diriku ke dalam pelukannya. Ia memeluk tubuhku erat. Ia lalu mengusap rambutku
dengan lembutnya.
GLUDUK...GLUDUK...
Aku merasakan titik air jatuh
ke wajahku. Rey menadahkan tangannya ke udara. “Gerimis nih, Sha!” katanya Rey
yang terlihat panik.
“Ayo Sha! Kita harus
berteduh, sebelum hujan beneran,” kata Rey panik.
“Emang ada hujan
boongan?” tanyaku dengan polos.
“Yaelah, bolotnya jangan kumat sekarang. Buruan!” Rey segera menarik tanganku lalu mengajakku berlari
menembus gerimis menyebrangi lapangan basket.
***
“Duduk dulu, Sha!” perintah Rey kepadaku. Kami telah berada di ruang kelas Rey,
ruang XII S1—yang berarti ruang IPS satu. Ruangan ini begitu luas. Saat kalian
memandang ke arah depan kelas, terpajang jelas foto Presiden SBY dan wakilnya Jusuf Kalla di dinding
bagian atas, meja guru di pojok kiri dengan hiasan vas bunga di sampingnya.
Kursi-meja yang berjajar rapi mengisi ruangan ini. Sama seperti ruangan
kelasku. Siang ini, ruangan kelas terlihat sepi. Hanya tergeletak
beberapa tas di atas meja, entah siapa pemiliknya. AC split yang menempel di
dinding tembok masih menyala, menyemburkan udara dingin yang menembus
kulit. Tetapi, aku menemukan letak perbedaannya. Papan tulis. Tertulis
“Masa Awal Kemerdekaan Indonesia”. Sepertinya, pelajaran Sejarah.
KLIK!
“Gue matiin yah
AC-nya. Biar elo nggak kedinginan,” kata Rey sambil memencet tombol off pada remote AC.
Aku mengangguk. Lalu kembali
memandang sekeliling ruangan kelas.
“Nih, handuk gue. Pake aja,
masih bersih kok,” Rey menyerahkan sehelai handuk kecilnya berwarna merah
kepadaku.
Aku melongo karena terpana.
Mulutku terbuka lebar menatap Rey. Ternyata sahabatnya yang terkenal ‘konyol’
dan ‘cuek’, aslinya begitu perhatian padaku. Dalam keadaan rambutnya yang
basah, ternyata dia keren juga.
“Oi! Ngapain
melongo begitu? Terpana yah lo lihat gue?” tanya Rey dengan PD nya.
Aku cepat-cepat tersadar dari
lamunanku. Lalu menerima handuk pemberian Rey. “Ngg.. nggak,” Aku meremas-remas
handuk milik Rey karena gugup.
“Eh-Eh! handuk gue limited
edition tuh, jangan diremes-remes! Elo kira mie remes?” ucap Rey asal.
“Huh! Iya..iya,” Aku kembali
terdiam sambil memandangi handuk merah di tanganku.
“Udah sini, gue yang keringin
rambut lo. Nunggu elo yang keringin, sampai lebaran haji kagak kering juga.
Keburu masuk angin malah!” Rey segera mengambil handuk dari tanganku, lalu
dengan penuh perhatian ia mengusap
kepalaku dengan handuknya. Dengan lembut, tidak sekasar biasanya.
“Gue keluar sebentar ya,”
Tak lama kemudian,
Rey kembali dengan membawa dua gelas teh hangat di tangannya dan menaruhnya di
atas meja guru.
Aku terpana melihat sikap Rey
yang begitu perhatian terhadapku. Rey, please jangan buat gue semakin ragu
sama perasaan gue ke elo..
“Tumben, elo perhatian sama
gue, Rey..” kataku tiba-tiba. Rey yang mendengar, langsung berhenti
sejenak.
“Kan gue sayang sama elo,”
balasnya singkat.
Aku tersentak, lalu
membuka telingaku lebar-lebar. Memastikan bahwa pendengaranku masih baik.
“A—Apaan Rey?”
“ Hah? Apaan sih?” balasnya
sewot.
“Itu tadi elo ngomong apa?”
tanyaku dengan penuh nafsu.
“Iya gue say—Hmph— Maksud
gue, ini udah jadi tugas gue sebagai sahabat lo dari kecil untuk ngejagain elo,
Sha,” ujarnya sambil berbalik badan mengambil sesuatu.
‘Sepertinya
Rey terlihat salah tingkah...’ , pikirku.
Aku tertegun mendengar
ucapan Rey. Begitu khawatirkah dirinya terhadap diriku?
“Nih, minum dulu. Mumpung
masih anget,” Rey memberikan
gelas berisi teh yang terlihat masih mengepul kepadaku.
“Loh? Elo minta dimana?” tanyaku
bingung.
“Minta Doraemon. Ya minta
dari ibu kantin lah,” balasnya cuek.
“Oh, hm. Thanks, Rey.”
balasku singkat, lalu kembali menundukkan kepala.
Rey menarik salah satu
bangku, lalu duduk di sampingku. Ia memandangku sejenak dan menggenggam
tanganku. “Are you okay , Sha?”
Aku membalas tatapannya. Lalu
mengangkat bahu. Aku benar-benar tidak tahu, apakah saat ini diriku baik-baik
saja atau tidak.
“Tadi elo bilang, lo capek
nunggu. Memang elo tahu definisi menunggu itu apa?”
“Menunggu? Hm..Hm.. Yah,
menunggu. Ibarat lagi nungguin angkot datang, tuh lagi menunggu,” jawabku asal.
Pikiranku kacau. Aku tidak dapat berpikir jernih saat ini.
“Kurang tepat. Coba deh elo
lihat keluar jendela. Yang lo lihat apa?” Rey menunjuk ke arah jendela.
Aku mengarahkan pandanganku
keluar jendela. Hujan turun dengan derasnya menghiasi sore ini. “Hujan..”
“Yup, benar. Menunggu
seseorang itu seperti elo sedang menanti hujan,”
“Loh, kenapa hujan?”
Aku memandang Rey dengan penuh tanya.
Namun dari mata Rey, ia seperti mengetahui segala jawaban atas
pertanyaanku tadi.
“Lo sadar nggak sih Sha, saat
hujan datang? Menunggu itu, ibarat lo lagi menanti datangnya hujan. Tanpa elo
perintahin, hujan itu akan turun dengan sendirinya. Bahkan di saat yang nggak
tepat. Disaat lo nggak minta sekalipun. Kayak tadi, lagi asyik berduaan sama elo, eh
malah hujan..”
“Sial! Modus banget sih!” Aku
merengut kesal.
“Dengerin dulu!” bentaknya
pelan. “Iya..iya deh.”
“Tapi disaat elo berharap
hujan turun saat ini juga, tapi hujannya nggak turun. Melainkan, dilawan keras
oleh datangnya matahari yang panasnya naujubile,” lanjutnya.
“Jadi menunggu seseorang itu,
seperti menunggu hujan. Elo nggak bisa memaksakan orang itu datang saat itu
juga ke hidup elo. Karena semua ada waktunya. Bahkan, orang itu bisa datang
disaat elo nggak mengharapkannya buat datang. Jadi, kalau lo benar-benar
mencintai dia, dan begitupun dia. Ya tunggulah dengan sabar, jangan
gegabah. Jangan maksa dia untuk selalu
ada untuk elo, karena dia tau waktu yang
tepat untuk menghiasi kehidupan lo,”
Karena dia tahu waktu yang
tepat untuk menghiasi kehidupan elo...
Benar juga kata Rey. Segala
sesuatu pasti ada waktunya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Rey. Rey
selalu ada untukku. Rey selalu menghiburku. Hhh—Bagiku, Rey merupakan sosok
pengganti papa di hidupku. Ia adalah sosok malaikat yang senantiasa
menjagaku. Kasih sayang dan perhatiannya, mampu menggantikan peran mama di
hidupku. Sejak kecil, kami telah bersahabat. Rumah Rey tepat di samping
rumahku. Orang tua kami juga begitu dekat, bahkan mereka juga saling mengenal
satu sama lain. Sejak papa dan mama meninggal sepuluh tahun silam, Papa
menitipkan titah untuk Om Rahman dan Tante Titi , agar menggantikan peran
mereka sebagai orang tuaku. Mereka adalah orang tua Rey. Bagiku, Om Rahman dan Tante Titi merupakan
orang tua keduaku yang sangat baik. Mereka begitu sabar dan perhatian dalam menjaga dan merawatku hingga sebesar
ini. Aku sangat bersyukur memiliki
mereka dalam hidupku, termasuk Rey.
Rey, aku menyayangimu, benar-benar
menyayangimu. Tetapi, rasa sayang ini hanya sebatas kakak. Mana mungkin aku
mencintai sahabatku sendiri?
“Ingat kata pepatah, sehabis
hujan ada pelangi. Jadi, lo pasti akan mendapatkan hikmahnya kok,”lanjut Rey.
Aku mengangguk sambil
tersenyum.
“Thanks ya, Rey. Elo
emang sahabat gue paling T-O-P deh!” ujarku sambil mengacungkan
jempol.
“Iya, sama-sama. Udah jangan sedih lagi. Yaudah,
gue mau futsal dulu,”
“Eh, tapi kan masih hujan?”
tanyaku bingung.
“Kan ruangan futsalnya indoor
pinterrrr....”
Aku terkekeh. “Hehehe, benar
juga. Yaudah, semangat yah mainnya!”
“Yeah. Lo mau pulang
bareng gue apa sendiri?”
“ Gausah. Nanti, pulang
bareng Fio aja,” ujarnya sambil tersenyum.
“Oke, hati-hati. Nanti telpon
gue kalo udah sampai rumah,”
“SIAP BOS!”
Rey pun menghilang dari balik
pintu.
***
Aku berjalan sambil memanggul
ransel biru milikku menuju pintu gerbang. Ponselku tiba-tiba saja bergetar. Aku
merogoh ponsel dari saku rok, lalu melihat nama penelepon di layar ponselku.
Fiorenza.
“NESHA!! Elo dimana sih?
Buruan, mendung lagi nih!” teriak Fio dari seberang telepon.
“Iya...iya sabar. Gue udah di
lorong. Bentar lagi sampai...”
“Yaudah buruan! Gue tunggu di
depan gerbang ya,”
“Iya cantik..”
“Oke, Bye!”
Klik.
Aku menutup ponselku lalu
kembali melangkahkan kaki menuju gerbang. Tiba-tiba saja, sosok yang sangat ku
kenal melintas di depanku.
“A..Axel?”
Matanya sembab, seperti habis
menangis. Mukanya kusut dan suram. Langkahnya gontai tidak berdaya. Ia
hanya tersenyum tipis menatapku. Lalu, kembali berjalan melewatiku. Tanpa
berpikir panjang, aku segera menarik tangannya. “Axeel!!”
“Apa?” balasnya singkat.
“Elo kenapa? Hah? Habis
diapain sama kepsek?”
Ia hanya menggeleng.
“Gue serius! Cerita dong,
Xel!”
“Nanti ya Sha, gue akan
cerita,” balasnya sambil tersenyum pahit. “Tt—“ Aku menelan kembali kata-kataku.
Ia melepaskan genggamanku, lalu
berbalik pergi. Aku hanya menatap
kepergiannya dengan gusar.
Apa benar karena nilai?
Tetapi, mengapa dirinya menjauhiku seperti ini?
Aku berbalik dan melanjutkan
perjalananku. Aku melangkah malas menuju gerbang. Pandanganku kosong ke arah
lantai keramik sekolah. Terbayang wajah Rey sedang menasehatiku.
Elo nggak bisa memaksakan orang itu datang saat itu juga ke hidup
elo. Karena semua ada waktunya..
Elo benar, Rey. Gue nggak
bisa memaksakan kehadiran Axel di hidup gue.
***
“Sha! Kusut amat sih muka lu? Nggak ada duit ya?” tanya Fio
penasaran. Memang Fio tipe orang yang ceplas ceplos, tidak peduli bagaimana
kondisi temannya pada saat itu.
Aku menggeleng pelan.
Fio hanya menggelengkan kepala. Sepertinya ia tahu ada yang tidak
beres dengan sahabatnya sore itu. Ia selalu berusaha mengorek ‘berita’ penyebab
murungnya aku sejak di sekolah tadi.
Sesampainya dirumah, aku segera menuju kamar. Tangisku pecah di pelukan Fio. Aku
menceritakan semua hal tentang perubahan sikap Axel yang membuat pikiranku
menjadi tidak karuan.
“Udah
dong Sha nangisnya.. Cup cup..” ujar Fio sambil mengelus-ngelus punggungku
“Emang
sih, si Axel ini memang rada berubah akhir-akhir ini. Tapi ya menurut gue, Axel
tuh nggak bakal kenapa-napa. Mungkin dia kepikiran , karena di tegur sama Pak Setyo karena nilainya
turun,”
“Tapi
Fi, kalo cuma masalah nilai, dia kan
bisa cerita sama gue. Tapi kenapa dia malah menghindar dari gue? Toh, gue juga
akan membantu dia kok buat belajar. Dia nggak pernah begini Fi. Gue takut,”
balasku sambil terisak.
“Dia
diam bukan karena dia marah sama lo,Sha. Mungkin dia juga ada masalah keluarga
dan butuh waktu buat nenangin diri. Coba deh, lo tunggu sampai seminggu
ini. Kalau dia masih ngejauhin lo, gue
akan bantuin lo buat cari tahu penyebabnya. Gimana?”
Benar
juga kata Fio. Mungkin saja dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya.
“Semoga kamu baik baik aja Xel..” harapku
dalam hati.
Aku
pun mengangguk setuju sambil tersenyum. “Thanks banget yaa Fio Cantik! Lo emang
sahabat gue paliiiiiiiing baik.....” Aku memeluk tubuh Fio hingga ia kesulitan
bernafas.
“Uhuk
uhuk..lepasin ah. Nggak bisa napas gue!”
balas Fio sewot. Aku terkekeh pelan, kemudian melepaskan pelukanku.
“By the way, lo udah kabarin si Rey blom?
Nanti dia cariin loh..”
“OH
IYA! Aduh, untung lo kasih tau gue Fi. Hahaha. Oke bentar gue ambil hape gue
dulu,”
Fio
hanya menggeleng, ” Yaudah, buruan!”
Aku
segera mengambil ponselku dari tas. Setelah aku mengecek, ternyata ada 12 miss call dari Rey.
“Mampus,
Fi! Si Rey nelpon dua belas kali, Gue kaga denger! Ngamuk deh nih anak,” ujarku panik.
Aku
segera menelpon balik Rey. Namun nomornya tidak dapat dihubungi.
Tiba-tiba
ponselku bergetar. Aku memandang layar ponselku. Rey Ganteng.
“Halo
Rey!”
“Woi,
kemana aja sih? Ditelponin nggak diangkat,” suara Rey terdengar panik.
“Hehehe...
Maap ya Rey, hapenya gue taro di tas. Jadinya nggak kedengeran deh. Ada Fio nih
dirumah,”
“Huu,
Nggak tau apa gue disini panik nungguin
lo? Gue kira di terkam monyet tetangga..”
“Ish
Rey, asal aja kalo ngomong,” balasku
jengkel.
“Hm, yaudah. Lo dah sampe rumah? Udah makan
blom?”
“Kalo
gue sih blom makan, lapar nih. Bi Iyem juga nggak masak kayaknya,”
“Yaudah,
gue baru kelar futsal nih. Tiga puluh menit lagi gue sampai rumah. Nanti gue
beliin nasi-ayam ya. Masih tahan kan laparnya?”
“Hm,
masih sih. Tapi paling pas lo sampai rumah, udah pingsan duluan kali,”
“Ya
udah. Berarti nasi-ayamnya buat gue aja.”
“Iiih,
dasar Rey! Yaudah hati-hati ya,Rey. Bye.”
“Oke, Bye.”
Setelah
aku menutup telpon, aku kembali melihat Fio. Ia sedang tiduran di ranjang
sambil asik membaca majalah fashion milikku.
“Si
Rey udah on the way pulang, Sha?” tanya
Fio.
“Eh,
udah tuh. Dia abis futsal katanya. Dia bilang sih mau bawain makanan.”
“Hm,
okelah. Eh Sha, pinjem kutek lo dong!”
“Enak
aja! Bayar dong,” ledekku pada Fio.
“Yaelah,
itungan segala sama sahabat lo sendiri. Gue kutekin lo juga deh, Gimana? Tapi
gue gratis ya!”
“Hahahaha,
Oke lah. DEAL!”
***
Waah ada lanjutan ceritanya ga? Hihi penasaran
ReplyDelete