Skip to main content

Malaikat Dalam Rinai Hujan.

pixabay/kalhh
Kegelapan. Ruangan dengan ukuran 3x3 yang begitu terang dengan hiasan lampu ber-watt tinggi, seolah terasa gelap bagiku.  Sejauh mataku memandang, hanya kegelapan yang kutemukan. Aku berusaha menembusnya, namun aku tak bisa. Aku merasakan ruangan ini begitu gelap dan hampa. Kegelapan menelanku bulat-bulat hingga akhirnya terjebak di ruangan yang begitu pengap ini. Saat ini, aku hanya duduk meringkuk sambil mendengar  lantunan kalimat yang dilontarkan dari mulut Christin. Yah, seputar acara graduation kelas 12 yang akan diadakan bulan depan.
Aku memeluk tubuhku dengan erat. Aku menggigit bibirku keras-keras dan menahan napas. Perlahan, sesak terasa hingga ke sela-sela jantungku. Debar jantung terasa begitu kencang. Aku benar-benar merasa takut. Ketakutan ini menerobos sukmaku, bahkan memaksaku untuk segera pergi mencarinya.
“Oke guys, latihan dance hari ini cukup sampai disini. Latihan berikutnya akan dilaksanakan pada tanggal dua puluh-an, kalian bisa kan? Nanti bagi akt—“
Kalimat itu tidak terdengar lagi di telingaku, karena aku telah berlari meninggalkan ruangan ‘mematikan’  itu.
***
Aku menelusuri lorong kelas yang sunyi. Tidak seorang pun terlihat melintas siang ini. Perlahan, aku melangkah menuju ruang kelas yang ada. Membuka  tiap pintu dengan penuh hati-hati, berharap aku dapat bertemu dengannya.
Ceklek!
Aku menyembulkan kepalaku, tidak ada orang di dalam. Aku kembali menutup pintu.
“Sha? Ngapain?” Terdengar seseorang menyapaku dan kini telah berada di sampingku. Ternyata dirinya Ronald. 
“E-Eh, Ron. Lihat Axel nggak?” tanyaku penasaran.
Ronald tampak mengernyitkan dahi. “Axel? Lah, bukannya dia dibawah? Di ruang kepsek,”
Kepsek?
“Di bawah? Oke, Makasih Ron!”
***
Aku berlari menuju lantai dasar, berharap Axel masih berada disana. Aku menelusuri lorong  menuju  ruang guru dan ruang kepala sekolah yang tepat bersampingan. Aku mencari dirinya, dan.... Ya! Aku menemukanmu Axel! Aku melihat dirimu dari belakang. Aku ingin menghampirimu, tetapi aku takut. Aku mundur perlahan, dan merapatkan tubuhku dari balik tembok. Aku mengintip perlahan, ternyata dirimu sedang berjalan mondar- mandir. Sepertinya, kamu sedang menunggu sesuatu.
Aku menghela nafas panjang. Aku mengurungkan seluruh rasa takut ini dan memberanikan diri untuk menghampirimu. Sayangnya, kamu telah lebih dulu berjalan masuk ke arah ruangan guru.  Karena diburu rasa penasaran, aku segera membuntutinya dari belakang.  Miris.  Aku tidak menemukannya, melainkan mendapatkan Johan sedang berdiri mematung, sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok ruang guru.
 “Jo, lihat Axel nggak?”  Orang yang kupanggil menoleh ke arahku.  “Eh, hai Sha. Hm, udah masuk tuh,” Johan menunjuk  ke suatu ruangan.
Aku mengarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk. Aku menatap lekat-lekat pintu kayu yang terukir jelas ’RUANG KEPALA SEKOLAH’. Ada masalah apa hingga dirinya harus masuk ruangan ‘eksekusi’ ini?
“Ng.. udah lama, Jo?”
“Baru aja masuk, Sha,” balasnya santai.
“Emang ada masalah apa sih?” tanyaku penasaran.
“Entah, kayaknya masalah nilai,” Raut wajahnya kembali murung.
“Nilai? Loh, emang nilai lo dan dia kenapa?” sentakku kaget. Tidak percaya, sampai hari ini masih saja membicarakan nilai. Padahal, hari kelulusan sebentar lagi tiba.
“Hm, nilai gue ada yang belom tuntas kayaknya. Kalau Axel gue nggak tau, Sha.”
“Ooo, yaampun sabar deh, Jo. Gue duluan ya,” lanjutku.
Johan mengangguk, lalu kembali memandang kosong ke arah tembok di hadapannya.   
***
Hampa. Aku berjalan gontai menelusuri lorong yang terlihat semakin sepi. Dan lagi-lagi sekitarku terasa gelap.  Mendadak kepalaku terasa berat.  Wajah Axel selalu saja menari-nari di pikiranku. Mengapa dirimu semakin menjauh? Apa yang sebenarnya terjadi?
Samar-samar, terlihat bangku kayu kosong di depanku. Aku melangkah menuju bangku lalu menghempaskan tubuhku di bangku  tersebut. Pandanganku beralih kepada anak-anak  yang tengah  bermain basket. Di samping lapangan, terdapat anak-anak yang lalu lalang berjalan dari arah kantin. Sebagian, ada yang menonton pertandingan basket. Dan sebagian ada yang menuju kelas.
Aku kembali memejamkan mata. Aku benar-benar merasa sendirian detik ini.  Pikiranku berkecamuk. Jiwaku  bergema. Keduanya saling beradu, melengkingkan namamu. Axel.
Aku  telah  berusaha membuktikannya. Sebuah kalimat yang dulu pernah terlontar dari bibirmu, “Aku harap kamu nggak seperti yang lain, Sha.  Aku ingin kamu nggak berubah seperti yang lain.”
Yah, hari ini aku telah membuktikannya. Entah kamu percaya atau tidak. Aku menunggumu. Bahkan mencarimu.
Tetapi, mengapa dirimu perlahan menjauhi diriku?
PLETAK!
Lamunan singkatku buyar ketika aku merasakan seseorang menjitak kepalaku cukup keras. Sampai-sampai,  aku terlonjak kaget dari tempatku.  Mataku masih terbelalak sangking kagetnya.
“Heh! Ngapain sih, lo ngelamun siang bolong begini? Kesambet tuyul baru tau rasa lo!”
Ternyata orang itu Rey. Dia masih mengenakan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu futsalnya. Ia juga menyelempangkan tas olahraga berwarna abu-abu, bertuliskan ‘ADIDAS’ di pundaknya.
“Issh, Rey! Apaan sih? Ngagetin gue aja! Lagi bete tauk!” gerutuku kesal.
“Aduh cewek manis kayak elo, nggak cocok bete-betean. Ntar muka lu pahit kayak obat puyer? Mau?”
“Sialan!  Ya kali, muka gue disamain kayak obat puyer!”  “Eh bentar, kok pahit? Bukannya biasanya ‘asem’?” tanyaku penasaran.
“Karena ‘asem’ udah terlalu mainstream, Sist..”
Rey tertawa garing. Aku mingkem.
“Hehehhehehe... lagian muka lo cemberut begini. Kenapa lagi, sayang? Sini cerita sama A-a Rey!” goda Rey sambil senyam-senyum memandangku.
“Sayang? Pret!!” aku menjulurkan lidahku ke arah Rey. 
“Hehehee... napa sih temen gue yang cantik ini?”
Aku masih terdiam tidak peduli.  
 “Elo lagi mikirin Axel ya?” tanyanya cuek.
Mataku melotot. Aku tidak menyangka Rey dapat menebak isi hatiku saat ini.
 Rey, kenapa nada lo berubah jadi dingin seperti ini?
“Hm— iya.” Aku mengakuinya. Mengakui seluruh perasaan yang telah lama kupendam. Aku tidak bisa menahan lagi semua ketakutanku, kekesalanku, bahkan rasa sayangku yang terlalu mendalam ke Axel. Yah, Axel. Yang kian hari kian membebani pikiranku.
“Trus kenapa elo duduk disini? Lo nggak nemuin dia?” tanyanya lagi. Kini nada bicaranya mulai melunak. Tidak sedingin tadi.
“Tadi gue ngeliat dia masuk ke ruang kepsek. Gue takut, Rey. Gue takut  jika terjadi apa-apa sama dia. Elo tau sendiri, siapapun yang masuk ke ‘ruang eksekusi’ itu, berarti punya masalah penting yang berhubungan sama sekolah,”
       “Nggak lah, Sha. Gue yakin dia nggak  kenapa-napa. Palingan lagi konsultasi,”
Aku menaikan alis. “Konsultasi? Konsultasi apa?” 
       “Konsultasi cinta, hehehe..” Rey malah cengengesan.
       “Sialan! Gue lagi serius juga!” Aku cemberut.
          “Yee, jangan marah dong! Hm, ya udah kalau memang lo mau ketemu dia, lo tungguin dia aja. Bentar lagi juga dia keluar,” balas Rey santai.
        “Hhh— nunggu?” Aku menggeleng sekali. “Gue capek nunggu dia, Rey.”
        “Loh, kenapa? Bukannya lo selalu setia nungguin dia?” Rey memandangku dengan tatapan heran.
        Aku menarik nafasku dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan.
       “ Gue merasa terjebak sama kondisi kayak gini. Belakangan ini, dia sering menjauh dari gue. Kalau lihat gue, dia langsung pergi. Seolah, gue virus mematikan buat dirinya. Oke, kalau dia marah ke gue. Tapi karena apa? Alasannya nggak pernah jelas. Haruskah gue menunggu jawaban itu? Jawaban yang nggak pasti. Bahkan, gue nggak tau kapan dia mengakui ini semua. Sampai kapan Rey, gue harus nunggu dia? Sampai kapan?” ujarku setengah menjerit.
 Mataku berair. Bendungan air mata tidak tertahan lagi dimataku. Aku menangis di pundak Rey. Ia merengkuh diriku ke dalam pelukannya. Ia memeluk tubuhku erat. Ia lalu mengusap rambutku dengan lembutnya.
GLUDUK...GLUDUK...
       Aku merasakan titik air jatuh ke wajahku. Rey menadahkan tangannya ke udara. “Gerimis nih, Sha!” katanya Rey yang terlihat panik.
       “Ayo Sha! Kita harus berteduh, sebelum hujan beneran,” kata Rey panik.
        “Emang ada hujan boongan?”  tanyaku dengan polos.
       “Yaelah, bolotnya jangan kumat sekarang.  Buruan!” Rey segera menarik tanganku lalu mengajakku berlari menembus gerimis menyebrangi lapangan basket.
***
       “Duduk dulu, Sha!” perintah Rey kepadaku. Kami telah berada di ruang kelas Rey, ruang XII S1—yang berarti ruang IPS satu. Ruangan ini begitu luas. Saat kalian memandang ke arah depan kelas, terpajang  jelas foto Presiden SBY dan wakilnya Jusuf Kalla di dinding bagian atas, meja guru di pojok kiri dengan hiasan vas bunga di sampingnya. Kursi-meja yang berjajar rapi mengisi ruangan ini.  Sama seperti ruangan kelasku. Siang ini,  ruangan kelas terlihat  sepi. Hanya tergeletak beberapa tas di atas meja, entah siapa pemiliknya. AC split yang menempel di dinding tembok masih menyala,  menyemburkan udara dingin yang menembus kulit.  Tetapi, aku menemukan letak perbedaannya. Papan tulis. Tertulis “Masa  Awal Kemerdekaan Indonesia”. Sepertinya, pelajaran Sejarah.
KLIK!
            “Gue matiin yah AC-nya. Biar elo nggak kedinginan,” kata Rey sambil memencet tombol off pada remote AC.
       Aku mengangguk. Lalu kembali memandang sekeliling ruangan kelas.
       “Nih, handuk gue. Pake aja, masih bersih kok,” Rey menyerahkan sehelai handuk kecilnya berwarna merah kepadaku.
       Aku melongo karena terpana. Mulutku terbuka lebar menatap Rey. Ternyata sahabatnya yang terkenal ‘konyol’ dan ‘cuek’, aslinya begitu perhatian padaku. Dalam keadaan rambutnya yang basah, ternyata dia keren juga. 
            “Oi! Ngapain melongo begitu? Terpana yah lo lihat gue?” tanya Rey dengan PD nya.
       Aku cepat-cepat tersadar dari lamunanku. Lalu menerima handuk pemberian Rey. “Ngg.. nggak,” Aku meremas-remas handuk milik Rey karena gugup.
       “Eh-Eh! handuk gue limited edition tuh, jangan diremes-remes! Elo kira mie remes?” ucap Rey asal.
       “Huh! Iya..iya,” Aku kembali terdiam sambil memandangi handuk merah di tanganku.
       “Udah sini, gue yang keringin rambut lo. Nunggu elo yang keringin, sampai lebaran haji kagak kering juga. Keburu masuk angin malah!” Rey segera mengambil handuk dari tanganku, lalu dengan penuh perhatian  ia mengusap kepalaku dengan handuknya. Dengan lembut, tidak sekasar biasanya.
“Gue keluar sebentar ya,”
            Tak lama kemudian, Rey kembali dengan membawa dua gelas teh hangat di tangannya dan menaruhnya di atas meja guru.
       Aku terpana melihat sikap Rey yang begitu perhatian terhadapku. Rey, please jangan buat gue semakin ragu sama perasaan gue ke elo..
       “Tumben, elo perhatian sama gue, Rey..” kataku tiba-tiba. Rey yang mendengar,  langsung berhenti sejenak.
       “Kan gue sayang sama elo,” balasnya singkat.
       Aku tersentak, lalu  membuka telingaku lebar-lebar. Memastikan bahwa pendengaranku masih baik.
       “A—Apaan Rey?”
       “ Hah? Apaan sih?” balasnya sewot.
       “Itu tadi elo ngomong apa?” tanyaku dengan penuh nafsu.
       “Iya gue say—Hmph— Maksud gue, ini udah jadi tugas gue sebagai sahabat lo dari kecil untuk ngejagain elo, Sha,” ujarnya sambil berbalik badan mengambil sesuatu.
     ‘Sepertinya Rey terlihat salah tingkah... , pikirku.  
 Aku tertegun mendengar ucapan Rey. Begitu khawatirkah dirinya terhadap diriku?
       “Nih, minum dulu. Mumpung masih anget,” Rey memberikan gelas berisi teh yang terlihat masih mengepul kepadaku.
       “Loh? Elo minta dimana?” tanyaku bingung.
       “Minta Doraemon. Ya minta dari ibu kantin lah,” balasnya cuek.
       “Oh, hm. Thanks, Rey.” balasku singkat, lalu kembali menundukkan kepala.
       Rey menarik salah satu bangku, lalu duduk di sampingku. Ia memandangku sejenak dan menggenggam tanganku. “Are you okay , Sha?”
       Aku membalas tatapannya. Lalu mengangkat bahu. Aku benar-benar tidak tahu, apakah saat ini diriku baik-baik saja atau tidak.
       “Tadi elo bilang, lo capek nunggu. Memang elo tahu definisi menunggu itu apa?”
       “Menunggu? Hm..Hm.. Yah, menunggu. Ibarat lagi nungguin angkot datang, tuh lagi menunggu,” jawabku asal. Pikiranku kacau. Aku tidak dapat berpikir jernih saat ini.
       “Kurang tepat. Coba deh elo lihat keluar jendela. Yang lo lihat apa?” Rey menunjuk ke arah jendela.
       Aku mengarahkan pandanganku keluar jendela. Hujan turun dengan derasnya menghiasi sore ini. “Hujan..”
       “Yup, benar.  Menunggu seseorang itu seperti elo sedang menanti hujan,”
        “Loh, kenapa hujan?” Aku memandang Rey dengan penuh tanya.  Namun dari mata Rey, ia seperti mengetahui segala jawaban atas pertanyaanku tadi.
       “Lo sadar nggak sih Sha, saat hujan datang? Menunggu itu, ibarat lo lagi menanti datangnya hujan. Tanpa elo perintahin, hujan itu akan turun dengan sendirinya. Bahkan di saat yang nggak tepat. Disaat lo nggak minta sekalipun.  Kayak tadi, lagi asyik berduaan sama elo, eh malah hujan..”
       “Sial! Modus banget sih!” Aku merengut kesal.
       “Dengerin dulu!” bentaknya pelan. “Iya..iya deh.”
       “Tapi disaat elo berharap hujan turun saat ini juga, tapi hujannya nggak turun. Melainkan, dilawan keras oleh datangnya matahari yang panasnya naujubile,” lanjutnya.
       “Jadi menunggu seseorang itu, seperti menunggu hujan. Elo nggak bisa memaksakan orang itu datang saat itu juga ke hidup elo.  Karena semua ada waktunya. Bahkan, orang itu bisa datang disaat elo nggak mengharapkannya buat datang. Jadi, kalau lo benar-benar mencintai dia, dan begitupun dia.  Ya tunggulah dengan sabar,  jangan gegabah.  Jangan maksa dia untuk selalu ada untuk elo,  karena dia tau waktu yang tepat untuk menghiasi kehidupan lo,”
       Karena dia tahu waktu yang tepat untuk menghiasi kehidupan elo...
       Benar juga kata Rey. Segala sesuatu pasti ada waktunya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Rey. Rey selalu ada untukku. Rey selalu menghiburku. Hhh—Bagiku, Rey merupakan sosok pengganti papa di hidupku. Ia adalah sosok malaikat yang senantiasa menjagaku. Kasih sayang dan perhatiannya, mampu menggantikan peran mama di hidupku. Sejak kecil, kami telah bersahabat. Rumah Rey tepat di samping rumahku. Orang tua kami juga begitu dekat, bahkan mereka juga saling mengenal satu sama lain. Sejak papa dan mama meninggal sepuluh tahun silam, Papa menitipkan titah untuk Om Rahman dan Tante Titi , agar menggantikan peran mereka sebagai orang tuaku. Mereka adalah orang tua Rey.  Bagiku, Om Rahman dan Tante Titi merupakan orang tua keduaku yang sangat baik. Mereka begitu sabar dan perhatian  dalam menjaga dan merawatku hingga sebesar ini.  Aku sangat bersyukur memiliki mereka dalam hidupku, termasuk Rey.
 Rey, aku menyayangimu, benar-benar menyayangimu. Tetapi, rasa sayang ini hanya sebatas kakak. Mana mungkin aku mencintai sahabatku sendiri?
       “Ingat kata pepatah, sehabis hujan ada pelangi. Jadi, lo pasti akan mendapatkan hikmahnya kok,”lanjut Rey.
       Aku mengangguk sambil tersenyum.
       “Thanks ya, Rey. Elo emang  sahabat gue paling T-O-P deh!” ujarku sambil mengacungkan jempol. 
  “Iya, sama-sama. Udah jangan sedih lagi.  Yaudah, gue mau futsal dulu,”
       “Eh, tapi kan masih hujan?” tanyaku bingung.
       “Kan ruangan futsalnya indoor pinterrrr....”
       Aku terkekeh. “Hehehe, benar juga. Yaudah, semangat yah mainnya!”
       “Yeah. Lo mau pulang bareng gue apa sendiri?”
       “ Gausah. Nanti, pulang bareng Fio aja,” ujarnya sambil tersenyum.
       “Oke, hati-hati. Nanti telpon gue kalo udah sampai rumah,”
       “SIAP BOS!”
       Rey pun menghilang dari balik pintu.
***
       Aku berjalan sambil memanggul ransel biru milikku menuju pintu gerbang. Ponselku tiba-tiba saja bergetar. Aku merogoh ponsel dari saku rok, lalu melihat nama penelepon di layar ponselku. Fiorenza.
       “NESHA!! Elo dimana sih? Buruan, mendung lagi nih!” teriak Fio dari seberang telepon.
       “Iya...iya sabar. Gue udah di lorong. Bentar lagi sampai...”
       “Yaudah buruan! Gue tunggu di depan gerbang ya,”
       “Iya cantik..”
       “Oke, Bye!”
Klik.
       Aku menutup ponselku lalu kembali melangkahkan kaki menuju gerbang. Tiba-tiba saja, sosok yang sangat ku kenal melintas di depanku.
       “A..Axel?”
       Matanya sembab, seperti habis menangis. Mukanya kusut dan suram. Langkahnya gontai tidak berdaya.  Ia hanya tersenyum tipis menatapku. Lalu, kembali berjalan melewatiku. Tanpa berpikir panjang, aku segera menarik tangannya. “Axeel!!”
       “Apa?” balasnya singkat.
       “Elo kenapa? Hah? Habis diapain sama kepsek?”
Ia hanya menggeleng.
       “Gue serius! Cerita dong, Xel!”
       “Nanti ya Sha, gue akan cerita,” balasnya sambil tersenyum pahit. “Tt—“ Aku menelan kembali kata-kataku.  Ia melepaskan genggamanku,  lalu  berbalik pergi.  Aku hanya menatap kepergiannya dengan gusar.
       Apa benar karena nilai? Tetapi, mengapa dirinya menjauhiku seperti ini?
       Aku berbalik dan melanjutkan perjalananku. Aku melangkah malas menuju gerbang. Pandanganku kosong ke arah lantai keramik sekolah. Terbayang wajah Rey sedang menasehatiku.
Elo nggak bisa memaksakan orang itu datang saat itu juga ke hidup elo. Karena semua ada waktunya..
       Elo benar, Rey. Gue nggak bisa memaksakan kehadiran Axel di hidup gue.
***

“Sha! Kusut amat sih muka lu? Nggak ada duit ya?” tanya Fio penasaran. Memang Fio tipe orang yang ceplas ceplos, tidak peduli bagaimana kondisi temannya pada saat itu.
  Aku menggeleng pelan.
Fio hanya menggelengkan kepala. Sepertinya ia tahu ada yang tidak beres dengan sahabatnya sore itu. Ia selalu berusaha mengorek ‘berita’ penyebab murungnya aku sejak di sekolah tadi. 
Sesampainya dirumah, aku segera menuju kamar.  Tangisku pecah di pelukan Fio. Aku menceritakan semua hal tentang perubahan sikap Axel yang membuat pikiranku menjadi tidak karuan.
“Udah dong Sha nangisnya.. Cup cup..” ujar Fio sambil mengelus-ngelus punggungku
“Emang sih, si Axel ini memang rada berubah akhir-akhir ini. Tapi ya menurut gue, Axel tuh nggak bakal kenapa-napa. Mungkin dia kepikiran , karena  di tegur sama Pak Setyo karena nilainya turun,”
“Tapi Fi, kalo cuma masalah  nilai, dia kan bisa cerita sama gue. Tapi kenapa dia malah menghindar dari gue? Toh, gue juga akan membantu dia kok buat belajar. Dia nggak pernah begini Fi. Gue takut,” balasku sambil terisak.
“Dia diam bukan karena dia marah sama lo,Sha. Mungkin dia juga ada masalah keluarga dan butuh waktu buat nenangin diri. Coba deh, lo tunggu sampai seminggu ini.  Kalau dia masih ngejauhin lo, gue akan bantuin lo buat cari tahu penyebabnya. Gimana?”
Benar juga kata Fio. Mungkin saja dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya.
Semoga kamu baik baik aja Xel..” harapku dalam hati.
Aku pun mengangguk setuju sambil tersenyum. “Thanks banget yaa Fio Cantik! Lo emang sahabat gue paliiiiiiiing baik.....” Aku memeluk tubuh Fio hingga ia kesulitan bernafas.
“Uhuk uhuk..lepasin ah.  Nggak bisa napas gue!” balas Fio sewot. Aku terkekeh pelan, kemudian melepaskan pelukanku.
By the way, lo udah kabarin si Rey blom? Nanti dia cariin loh..”
“OH IYA! Aduh, untung lo kasih tau gue Fi. Hahaha. Oke bentar gue ambil hape gue dulu,”
Fio hanya menggeleng, ” Yaudah, buruan!”
Aku segera mengambil ponselku dari tas. Setelah aku mengecek, ternyata ada 12 miss call dari Rey.
“Mampus, Fi! Si Rey nelpon dua belas kali, Gue kaga denger! Ngamuk deh nih anak,”  ujarku panik.
Aku segera menelpon balik Rey. Namun nomornya tidak dapat dihubungi.  
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku memandang layar ponselku. Rey Ganteng.
“Halo Rey!”
“Woi, kemana aja sih? Ditelponin nggak diangkat,” suara Rey terdengar panik.
“Hehehe... Maap ya Rey, hapenya gue taro di tas. Jadinya nggak kedengeran deh. Ada Fio nih dirumah,”
“Huu, Nggak tau apa gue disini panik nungguin  lo? Gue kira di terkam monyet tetangga..”
“Ish Rey,  asal aja kalo ngomong,” balasku jengkel. 
 “Hm, yaudah. Lo dah sampe rumah? Udah makan blom?”
“Kalo gue sih blom makan, lapar nih. Bi Iyem juga nggak masak kayaknya,”
“Yaudah, gue baru kelar futsal nih. Tiga puluh menit lagi gue sampai rumah. Nanti gue beliin nasi-ayam ya. Masih tahan kan laparnya?”
“Hm, masih sih. Tapi paling pas lo sampai rumah, udah pingsan duluan kali,”
“Ya udah. Berarti nasi-ayamnya buat gue aja.”
“Iiih, dasar Rey! Yaudah hati-hati ya,Rey. Bye.”
“Oke, Bye.”
Setelah aku menutup telpon, aku kembali melihat Fio. Ia sedang tiduran di ranjang sambil asik membaca majalah fashion milikku.
“Si Rey  udah on the way pulang, Sha?” tanya Fio.
“Eh, udah tuh. Dia abis futsal katanya. Dia bilang sih mau bawain makanan.”
“Hm, okelah. Eh Sha, pinjem kutek lo dong!”
“Enak aja! Bayar dong,” ledekku pada Fio.
“Yaelah, itungan segala sama sahabat lo sendiri. Gue kutekin lo juga deh, Gimana? Tapi gue gratis ya!”
“Hahahaha, Oke lah. DEAL!”
***

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Aku tak membenci Hujan.

Hujan mengingatkanku akan sebuah kenangan. Karena saat hujan turun,  ia senantiasa memberikan kenangan baru dalam memoriku. Kenangan antara aku dan seseorang yang kucintai. Terkadang hujan datang tak kenal waktu, Namun ia mengerti dan paham kapan waktunya mereda. Bahkan, Seringkali hujan sengaja menjebak kita di tempat yang sama. dan dengan pertanyaan yang sama, "Kapan hujan ini reda?" Dan aku selalu menikmati kehadirannya. Bagiku, hujan memiliki kekuatan tersendiri, untuk menghadirkan kebahagiaan di setiap insan manusia. Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Sebab selalu ada senyuman yang kulihat setelah hujan reda. Senyumanmu,  gelak tawamu,  bahkan candaan yang senantiasa menghibur hati. Kau tahu mengapa aku tak menbenci hujan? Sebab selalu ada genggaman hangat di jemariku dan seolah ikut berkata,"Tenanglah, Aku ada disini." Kau tahu mengapa aku tak membenci hujan? Karena hujan pandai menyamarkan kesedihan di wajahku. Ia tak pernah t

Lukisan Hujan - Sitta Karina

Resensi Novel   Judul Novel                  :  Lukisan Hujan   Pengarang                  :  Sitta Karina   Penerbit                      :   Terrant Books Tahun                         : 2004   Genre                        :   Novel Remaja(Romance) Tebal buku                  :   386 halaman  ISBN                        :  979-3750-00-6 ·          Sinopsis Novel      Novel “Lukisan Hujan” mengangkat cerita tentang kehidupan Diaz Hanafiah – cowok keturunan Hanafiah Group yang kaya raya dan terkenal, bagian dari  sosialita Jakarta. Orang tuanya merupakan pemilik “Hanafiah Group”, namun Diaz merupakan cowok yang bersikap dingin dan cuek. Karena kesederhanaan yang ditunjukan, dia sering diolok-olok karena tidak se- elite dan se- glamour sepupu-sepupunya.     Dimulai dari kedatangan tetangga baru seorang cewek bernama Sisy yang menggemparkan teman-temannya di komplek Bintaro Lakeside. Diaz yang awalnya penasaran akhirnya malah berkenalan di suatu

De Buron - Maria Jaclyn

PROLOG "Kalau kamu menyayangi seseorang, kamu enggak harus bersama dia untuk menjadi bahagia.Walaupun kalian berpisah,kamu pasti akan bahagia kalau melihatnya bahagia. Kurasa caramu menjadi bahagia salah, karena kulihat sekarang kamu cuma menyakiti dirimu sendiri," kata Ditya lagi.  Judul: De Buron Penulis: Maria Jaclyn Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2005 Jumlah Halaman: 248 Halaman Kategori: Novel ISBN: 979-22-1396-1 Ukuran: 20 cm x 13,5 cm Harga: Rp 26.500,00     Pernah nggak sih kalian ngerasain betapa takutnya didatangi oleh  "Buronan" ? Cemas, Takut, Khawatir pasti menghinggapi perasaan kalian. Perasaan yang serupa timbul pada diri Kimly, cewe baik dan supel, ketika sosok pria bernama Raditya datang ke kehidupannya, hingga akhirnya Ia menyadari akan suatu hal pada sosok Ditya. Novel “De Buron” merupakan salah satu novel romance berbakat karangan Maria Jaclyn,penulis novel berbakat tahun 2005. Novel ini mengangkat