Dalam masyarakat modern, media mempunyai peran
sangat penting. Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah menunjukkan jati dirinya dalam
peradaban manusia. Diawali dengan perkembangan telepon, komputer, hingga
internet yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan berekspresi.
Keberadaanya dianggap penting oleh masyarakat sebagai eksitensi diri.
Teknologi komunikasi ternyata melahirkan
berbagai fenomena, khususnya fenomena yang terjadi di kalangan remaja. Hal
tersebut diwujudkan dengan berkembangnya situs jejaring sosial, seperti
Facebook dan Twitter. Pada tahun 2008, muncul bahasa fenomenal yang disebut orang-orang sebagai bahasa
‘Alay’. Awal kemunculannya cukup menyita
perhatian remaja yang seolah-olah menggeser keberadaan Bahasa Indonesia.
Masih ingatkah dengan
kata Ciyus, Eaaa, Mi apa? Mungkin
kata-kata ini merupakan sebagian dari puluhan bahasa lain yang secara tidak
sengaja menjelma menjadi bahasa gaul yang dikonsumsi berulang kali. Khususnya
pada kalangan remaja. Bahasa alay yang kita kenal merupakan variasi bahasa yang muncul di kehidupan anak
muda. Alay merupakan singkatan dari Anak layangan, Anak lebay, Anak layu bahkan disebut sebagai Anak
kelayapan atau berhubungan dengan anak
yang jarang pulang.Tetapi singkatan Alay lebih dikenal sebagai Anak Layangan.
Ironisnya, konsumsi
berlebihan pada penggunaan bahasa alay atau hal-hal yang terkesan norak ini
justru menjadi sesuatu yang lebih menarik untuk dipelajari dan digunakan
daripada menelaah kembali bahasa Indonesia. Misalnya kata ‘Aku’ menjadi ‘Aqu’,
kata ‘Kamu’ menjadi ‘Qamu’, kata Tidak menjadi ‘Gx’, dan lainnya. Kenyataanya,
fenomena unik ini cukup menyita perhatian kita sebagai masyarakat, bahkan
pro-kontra hadir ditengah perubahan bahasa Indonesia dari masa ke masa.
Seperti siswi SMA Candle Tree, Joceline (15)
misalnya, ketika Sekolah Dasar bahkan sudah menggunakan bahasa alay untuk
berkomunikasi dengan rekannya. “Pernah sih dulu pas SD, pakai bahasa alay. Hm,
kenapa ya? Karena dulu katanya bahasa alay itu keren,” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan keberadaan bahasa Indonesia?
Kenyataan lain diungkapkan oleh Bryan, siswa SMA Candle Tree (18), “Mungkin
sebenarnya mereka kreatif, tetapi mereka menuangkan kreatifitasnya ke dalam hal
yang kurang tepat,” ujarnya di sela istirahat sekolah.
Bagaimana dengan penggunaan EYD? Umumnya, remaja telah melupakan bahkan tidak
mengerti kaidah EYD yang benar dalam membuat kalimat, karangan, bahkan membuat
sebuah kata. Mereka juga tidak mengerti bagaimana menuliskan penggunaan kata
yang baku dan tidak baku, ataupun menggunakan akronim yang benar.
Kenyataan pendapat Harimurti Kridalaksana, salah
satu ahli bahasa yang menulis esai pembelaan atas pentingnya perubahan ejaan
dalam bahasa Indonesia menyebutkan adanya pro-kontra terhadap diperkenalkannya
Ejaan Baru. Kritik yang menunjukkan kontra terhadap perubahan yang terjadi
dianggapnya relevan karena baginya tidak semua orang mampu untuk memberikan
pandangan yang tepat tentang bahasa.
Faktanya bukan karena bahasa yang terus berkembang seiring banyaknya
informasi yang hadir. Namun, permasalahannya bagaimana masyarakat menjaga
dan mengembangkan identitas bangsa yang ada. Salah satunya adalah bahasa.
Bahasa merupakan kunci pokok bagi kehidupan
manusia di dunia ini, membuat orang bisa berinteraksi dengan sesamanya dan
dijadikan sebagai sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Kalau bukan sejak dini memperkenalkan identitas
bangsa lewat bahasa kapan lagi Indonesia dikenal?(Tujuh/MP)
Comments
Post a Comment