"Jangan kata 14
hari, dikasih 10 tahun juga kaga' sanggup saya bisa punya rumah lagi kalau digusur dari sini!"
----------**---------
Tak heran, ungkapan diatas berasal
dari seorang Ibu, warga Cina Benteng yang berkediaman di Sewan, Tangerang yang
kehidupannya terkenal miskin, bahkan sangat miskin. Potret kehidupan Warga Cina
Benteng yang sering kali termarginalkan karena kehidupan mereka yang miskin.
Seringkali, munculnya berita yang mengatakan bahwa tempat tinggal mereka akan
digusur terdengar sangat mengenaskan dan memilukan. Kita akan berhadapan dengan
encim-encim tua pemulung gelas Aqua
yang sedang meratapi nasibnya jikalau gubuk tempat tinggalnya akan digusur. Selain
hidup miskin mereka juga pernah dirampas hak sipilnya, termasuk hak budaya
selama puluhan tahun, dan kini hak mereka atas tempat tinggal pun mau dirampas.
Namun, tahukah anda siapa masyarakat Cina Benteng itu sebenarnya?
Berbicara mengenai kehidupan warga
Tangerang, kita awali dengan dengan mengenal Kota Tangerang itu sendiri. Tangerang
merupakan sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten, Indonesia, tepat di sebelah barat kota Jakarta dan merupakan salah satu kota terbesar ketiga di kawasan Jabotabek setelah Jakarta. Kini
Tangerang dihuni oleh kurang lebih 1,9 juta jiwa penduduk Tangerang yang
terdiri atas berbagai kelompok etnis. Namun, dari berbagai etnis yang ada di
Tangerang, kelompok etnis Cina merupakan kelompok yang cukup menarik karena
mereka dapat berbaur dengan masyarakat pribumi yang ada. Di Kota Tangerang,
kelompok etnis Cina lebih dikenal dengan sebutan Cina Benteng (CinBen).
Masyarakat
keturunan etnis Tionghoa yang mendiami kawasan tepi sungai Cisadane memiliki
ciri fisik dan budaya yang berbeda dengan etnis Cina pada umumnya. Mereka
dikenal sebagai etnis Cina yang berkulit
gelap atau sawo matang, bermata tidak terlalu sipit, tidak bisa berbahasa Cina
dan berekonomian kurang dibandingkan etnis Cina Glodok dan Cina Menteng yang
memiliki ratusan aset dan kawasan pabrik hingga di luar negeri.
Warga
Cina Benteng dikenal hidup sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan.
Sebagian dari mereka bersuami/istri penduduk asli Indonesia, sehingga mereka menyatukan
tradisi dan tatanan kehidupan yang tak jauh berbeda dengan masyarakat Tangerang
asli, tak terkecuali dalam berkesenian seperti cokek dan gambang kromong.
Mereka
digolongkan menjadi dua golongan berdasarkan asal mereka yaitu Tiongkok.
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15 dan berprofesi menjadi petani, buruh, pekerja, dan
pedagang. Mereka pun mencapai Tangerang menggunakan perahu sederhana. Tak
heran, golongan mereka yang dikenal hidup ‘pas-pas an’ kini tinggal di
pedesaan. Golongan kedua adalah mereka yang datang pada abad ke-18. Hidup
mereka lebih sejahtera dan terkesan mewah, dikarenakan kedatangan mereka
bersama dengan kapal dagang Belanda dan dijanjikan untuk hidup lebih layak,
bahkan banyak dari mereka yang mejadi tentara kolonial Belanda.
Kini,
tanpa kita sadari keberadaan warga Cina Benteng seringkali tersingkirkan dari
kehidupan hiruk pikuk kota Tangerang. Padahal, banyak hal yang dapat
dibanggakan dari keturunan Etnis Tionghoa ini. Mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi
Tiongkok. Kehadirannya dapat dijumpai dengan “meja abu” yang terletak di dalam
rumah masing-masing, dimana para anggota dapat menjalankan ritual penghormatan
kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Selain itu, upacara pesta
perkawinan pasangan Cina Benteng dilakukan sebanyak dua kali. Pesta tersebut
dibedakan berdasarkan perbedaan makanan yang disajikan. Bagi non-Muslim
biasanya disajikan babi panggang Tangerang dan minuman Bir. Pada pesta
perkawinan juga dimeriahkan dengan musik Gambang Keromong dengan lagu-lagu
favorit seperti : Cinte manis berdiri,
pecah piring, semar gurem dan onde-onde, dsb. Disertai pula tarian Cokek
yang umumnya datang dari daerah sekita Krawang yang dianggap belum “afdol” jika
tidak ada penari cokek yang terlihat sensual itu.
Warga Cina Tangerang masih merayakan tradisi
Peh Cun diisi dengan perlombaan perahu naga di Sungai Cisadane yang membentang
tenang. Peh Cun merupakan sebuah tradisi yang diadakan sejak tahun 1911 di
Indonesia yang sempat terhenti pada tahun 1965 akibat geger politik.
Perayaan Cap Go Meh juga menjadi ciri
khas warga Tangerang yang dirayakan sebagai upaya perkenalan keagamaan dan
keyakinan Warga Tionghoa terhadap budaya Tiongkok yang sudah terlaksana secara
turun temurun. Bertempat di Klenteng Boen Tek Bio,
yang berada di Jalan Bakti No.14 Kawasan Pasar Lama, Tangerang, acara
dimeriahkan dengan tarian barongsai yang lucu dan energik, tarian naga liong
yang panjang yang meliuk-liuk diiringi tabuhan genderang, serta perpaduan suara
gong dan gemerincing yang menambah kemeriahan acara tersebut. Tak ketinggalan, hidangan Lontong Cap Go Meh,
biasanya disantap keluarga Tionghoa Indonesia pada saat perayaan Cap Go Meh, yaitu lima belas hari setelah Imlek. Hidangan
ini memiliki makna tersendiri bagi orang Tionghoa dan dijadikan sebagai
kepercayaan. Diantaranya, Lontong yang
padat mengandung perlambang keberuntungan. Bentuk lontong yang panjang juga dianggap
melambangkan panjang umur. Telur dalam setiap kebudayaan melambangkan
keberuntungan, sementara kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning melambangkan
emas dan keberuntungan.
Sebutan
Cina Benteng dapat dikategorikan sebagai nama “generik” yang mengacu pada pola
budaya tertentu dan terkenal unik, karena yang didefinisikan sebagai lingkup
budaya Cina Benteng ini tidak hanya masyarakat Tionghoa yang tinggal di wilayah
Tangerang saja, melainkan juga tersebar mulai dari Mauk, Tanjung Pasir, Teluk
Naga, Balaraja, Legok, Curug, Tigaraksa, Cikupa, Batu Ceper, Serpong, Parung,
Cileungsi sampai Jonggol.
Tak dapat dipungkiri, Cina Benteng
memiliki banyak budaya dan tradisi, tetapi sering kali warga Tionghoa ini sering terampas hak nya untuk
menikmati hasil bumi yang mereka hasilkan. Ketika semua warga Tionghoa menikmati perayaan Imlek
secara besar-besaran, hal ini tidak dirasakan oleh Warga Cina Benteng. Mereka hanya
mempersiapkan diri seadanya. Meskipun kini hadir generasi keenam dan ketujuh
dari para sesepuhnya, namun taraf ekonomi masyarakatnya belum bisa dikatakan mampu. Hal ini
menimbulkan adanya kesenjangan status sosial dan ekonomi.
Secara kependudukan dan politik mereka terpinggirkan dari tahun
1965, ditandai dengan adanya penggusuran beberapa waktu yang lalu. Kurangnya
perhatian pemerintah terhadap warga Benteng, menyebabkan semakin banyaknya
kasus penggusuran.
“Saya masih trauma kalau ingat mau digusur waktu
itu,” ungkap Ani, warga Kampung Benteng, Sewan, Tangerang yang di wawancarai
beberapa bulan yang lalu. Beliau mengungkapkan ketika lebih dari 200 Satpol PP
menggusur tiga pabrik termasuk pabrik kecap terkenal yang menjadi sumber mata
pencaharian mereka. Mereka dianggap penduduk liar yang tidak memiliki hak untuk
bertempat tinggal di lingkungan tersebut.
Penolakan
terhadap penggusuran juga diungkapkan oleh Inur, warga Cina Benteng kepada
salah satu media berita online, (13/4), "Iya kita warga
dipukul-pukulin," ujarnya. Sebanyak
1.007 jiwa yang terdiri dari 477 perempuan, 339 anak-anak, 129 laki-laki serta
12 orang penderita keterbelakangan mental terancam kehilangan tempat tinggalnya
di kawasan itu.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Jika dilihat
dari sisi negatif-nya, warga Cina Benteng dikenal malas bekerja. Jika kita
perhatikan, tingkat pengangguran yang terjadi di kalangan warga Benteng dapat
terjadi dikarenakan banyak dari mereka yang menggunakan uang hanya untuk
berjudi, sehingga muncul kesan bahwa mereka suka menghamburkan uang. Mereka hanya mempedulikan kenyataan yang
mereka hadapi hari ini tanpa memikirkan hari esok. Berbeda dengan Etnis Cina di
daerah Jakarta yang lebih mementingkan uang, sehingga semangat kerja mereka
lebih tinggi dari pengusaha-pengusaha lainnya. Pola pikir warga Cina Benteng
yang hanya ingin dikasihani oleh pemerintah, tanpa ada usaha yang kuat untuk
memutar balikan nasib kehidupan mereka. Maka dari itu, Warga Tionghoa ini masuk
ke dalam kalangan warga yang kurang mampu.
Disamping
itu, tak sedikit sisi positif yang dapat kita pelajari dari warga Tionghoa ini.
Banyak dari kekurangan mereka yang dapat kita nilai sebagai hal yang positif.
Budaya Cina menjadi tidak punah berkat adanya masyarakat Cina Benteng yang
melestarikan budaya dari generasi ke generasi. Contohnya, perayaan Imlek
yang biasanya berlangsung meriah, namun
tidak bagi komunitas Cina Benteng yang berkediaman di Kelurahan Lebak Wangi, Neglasari, Tangerang,
(10/2/2013), tidak terlihat lampion dan pernak- pernik lainnya yang menghiasi
di setiap petak rumah. Dengan kesederhanaan yang ada, sejumlah warga etnis
Tionghoa lalu lalang menyambangi keluarga terdekat untuk bersilaturahmi. Mereka
juga melakukan tradisi berdoa kepada leluhur disertai buah dan kue sekadarnya. Tak
ada kue keranjang tinggi di altar persembahan bagi leluhur mereka. Meskipun
dikondisikan dalam kehidupan yang serba pas-pasan, mereka tetap mempercayai
setiap budaya dan tradisi yang mereka anut hingga saat ini. Selain itu,
keterampilan mereka dalam menciptakan makanan khas etnis Tionghoa, sangat
diacungi jempol. Salah satunya, Ikan Cengcuan. Kaum keturunan Tionghoa umumnya
memasak memasak Ceng Cuan dari ikan samge ikan alu-alu
atau ikan kacang-kacang. Pada hari-hari
perayaan, mereka menggunakan ikan bandeng yang dianggap sebagai ikan yang
mewah. Bumbu utama ikan ceng cuan adalah tauco dan kecap manis. Sejak dulu, Tangerang
memang dikenal sebagai penghasil kecap manis dan tauco yang terkenal. Hingga
saat ini, merk lama yang masih eksis dikalangan warga Tangerang masih tetap
dipakai dan diingat masyarakat.
Ironis
memang jika pemerintah hanya melihat mereka dari satu sisi saja. Sudah
seharusnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang lebih bijak dalam menanggapi
kasus ini. Penduduk asli Tangerang sudah seharusnya menikmati hasil mereka,
menempati tempat tinggal yang layak dan juga diberikan perhatian yang sederajat
dengan masyarakat pendatang. Jika kita lihat kenyataan saat ini, pendatang baru
yang melebur bersama masyarakat kota Tangerang asli lebih diutamakan, dari segi
sosial dan budaya, serta pelayanannya. Rencana Operasi Kependudukan yang dilakukan
Pemerintah Kota (PemKot) Tangerang dengan cara merazia warga yang tidak memiliki identitas kartu tanda penduduk
serta mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap
merupakan
hal yang baik. Namun, jika tindakan ini menimbulkan kesalahpahaman antara warga
dan pemerintah, akan menimbulkan permasalahan baru di Kota Tangerang.
Oleh
karena itu, warga Benteng yang berada di pinggiran Tangerang
juga perlu dihargai baik dari segi keberadaan mereka di lingkup Tangerang,
maupun tradisi yang masih mereka lakukan hingga saat ini dan mendapatkan
perhatian yang lebih dari pemerintah. Disamping itu, untuk mengurangi tingkat
kemiskinan di kota Tangerang, pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan Sistem
Padat Karya, dimana mereka yang menganggur bisa mengembangkan keterampilan yang
mereka miliki. Akan lebih baik, jika mereka mampu menciptakan cenderamata khas
Tangerang, sehingga para turis yang datang ke Kota Tangerang bisa kebih
mengenal Tangerang lebih dekat. Selain itu, agar tradisi Cina Benteng tetap
lestari dan dikenal, PemKot Tangerang dapat membentuk sebuah karnaval yang
berisi perayaan warga Tionghoa di daerah strategis di Kota Tangerang. Agar
bukan hanya warga Tionghoa saja yang merayakan, tetapi tradisinya dikenal oleh
masyarakat luas bahkan hingga ke manca negara.
Comments
Post a Comment