Setiap kali hatiku merasa kalut,
hal sederhana yang dapat kulakukan adalah menghibur diriku sendiri.
Mungkin kamu terheran-heran melihat caraku menghibur diri. Banyak orang
memilih untuk bersenang-senang, jalan-jalan bersama temannya, atau
bahkan menghabiskan uang untuk berbelanja. Memang terlihat menyenangkan
sih, tapi berbeda denganku. Menurutku, disaat hati manusia sedang kalut,
lebih baik ia menenangkan dirinya dan mengevaluasi diri, kira-kira apa
saja penyebab hatinya menjadi kalut. Salah satu caranya dengan menulis.
Meski terlihat janggal, namun menurutku cara ini sangatlah unik. Disaat
aku tidak memiliki teman bicara, aku memilih mengutarakan isi hatiku
melalui tulisan. Niscaya, tulisanku ini akan menjadi penguatku untuk
menghadapi hari-hari yang harus aku hadapi.
Oh ya, hari ini juga hari terakhirku tidur malam. Dan lusa, aku sudah
kembali menjalankan aktivitas perkuliahan di kampusku. Sebetulnya, aku
masih ini bersenang-senang dirumah. Entah mengapa, liburan kali ini
terasa berbeda. Meski membosankan, dan kadang aku merasa kesepian karena
tidak ada teman bicara, aku merasakan damai yang selama ini aku
rindukan. Berdiam diri dirumah, menyibukkan diri dan melakukan aktivitas
dirumah yang monoton. Semua itu sangatlah jarang kutemui sejak aku
sibuk dengan dunia perkuliahanku. Namun, lusa aku harus memasuki lagi
jenjang yang baru. Tidak seperti biasanya, kini aku merasa enggan untuk
masuk. Semangat yang dulu selalu berkobar ketika hari masuk kuliah tiba
(Ya, dulu aku selalu bersemangat untuk bertemu dengan dia) kini rasanya
berangsur padam. Ketakutan itu semakin nyata. Ketakutanku melihat
keadaan yang belum benar-benar membaik, termasuk keadaan hatiku saat
ini. Terlalu banyak kenangan yang belum sempat kuhapus, padahal itu
sangat membebani pikiranku. Aku menyadari, selama liburan ini aku hanya
berusaha menghindari diriku dari percikan-percikan masalah yang mungkin
saja dapat melukaiku lagi. Bukan. Aku bukannya menyembuhkan luka
dihatiku. Aku hanya membalutnya, padahal luka itu masih terasa sangat
basah. Alih-alih ingin membuat luka itu kering sendiri, nyatanya aku
membuat luka itu kian bernanah.
Aku membiarkan diriku terpuruk, dibawah kebahagiaan orang-orang yang
mentertawai keadaanku saat ini. Hal ini tidak membuat diriku berdiam
diri. Aku berusaha untuk bangkit lagi sendiri. Meski harus terseok-seok.
Aku berusaha menyembuhkan lukaku seorang diri, tanpa bantuan siapapun.
Ingat, tanpa bantuan siapapun! Sejak kecil, aku sudah terbiasa kesepian.
Memang bagimu enak hidup kesepian? Tidak sama sekali. Sebenarnya aku
rindu berkumpul bersama teman-temanku. Akan tetapi, aku muak jika harus
berkumpul dengan orang-orang yang tidak tulus hatinya. Apalagi bertemu
dengan orang-orang bermuka dua. Orang-orang hanya datang padaku, untuk
sekedar meminta bantuanku kemudian pergi. Aku tidak membutuhkan
orang-orang seperti itu. Mereka tidak mampu membuatku merasa 'hidup'.
Kalau boleh jujur,
Aku
rindu. Aku rindu sosok teman yang mampu membantuku bangkit dari
kegelapan ini. Sosok teman dari balik tubuhku ini. Ya... dirinya adalah
diriku sendiri. Bagiku, sudah cukup untuk bersedih hati, sebab tak ada
yang peduli akan keadaanku ini. Ya, tidak semua orang dapat menolong
kita dari keterpurukan ini, kecuali diri kita sendiri. Aku menyadari
akan satu hal, semakin aku lemah, aku bukan menerima simpati dari orang
lain, melainkan tawa mereka yang meremehkan. Aku tidak ingin membiarkan
orang-orang seperti itu menyakiti diriku lagi. Aku, meyakini diriku
sendiri, bahwa aku adalah wanita yang kuat. Wanita yang tangguh. Wanita
yang serba bisa sendiri. Selagi bisa sendiri, akan kulakukan itu
sendiri. Jangan bergantung dengan orang lain. Dan jangan pernah
menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Sebab, tidak semua orang
dapat menyenangkan hati kita. Hanya diri kita sendiri, sang penghibur
hati.
Serpong, 27 Januari 2018,
M.
Comments
Post a Comment